Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi atau akrab dipanggil Kang Pepen sebagai tersangka penerima suap. Ia diduga menerima uang terkait pengadaan barang dan jasa serta jual beli jabatan.

Penetapan dirinya sebagai tersangka ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan pada Rabu, 5 Januari. Pepen merupakan kepala daerah pertama yang ditangkap KPK pada awal tahun ini.

Dalam konferensi pers, Ketua KPK Firli Bahuri mengungkap Pepen menerima uang miliaran rupiah sebagai commitment fee dari pihak swasta yang lahannya dibebaskan untuk proyek milik Pemkot Bekasi dan mendapat ganti rugi. Hanya saja, dia menyebut uang tersebut dengan kode sumbangan masjid.

"Sebagai bentuk komitmen, tersangka RE diduga meminta sejumlah uang kepada pihak yang lahannya diganti rugi oleh Pemerintah Kota Bekasi di antaranya dengan menggunakan sebutan untuk sumbangan masjid," kata Firli di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 6 Januari.

Selanjutnya, Firli mengatakan pihak swasta yaitu Lai Bui Min; Direktur PT Kota Bintang Rayatri, Suryadi; dan camat Rawalumbu, Makhfud Saifudin menyerahkan sejumlah uang melalui orang kepercayaan Pepen.

Mereka adalah Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertahanan Kota Bekasi, Jumhana Lutfi dan Camat Jatisampurna, Wahyudin.

"Pihak-pihak tersebut menyerahkan sejumlah uang melalui perantara orang-orang kepercayaannya JL yang menerima uang sejumlah Rp4 miliar dari LBM, WY yang menerima uang sejumlah Rp3 miliar dari MS, dan mengatasnamakan sumbangan ke salah satu masjid yang berada di bawah yayasan milik keluarga RE sejumlah Rp100 juta dari SY," ungkapnya.

Selain suap di atas, KPK juga mengungkap Pepen menerima uang terkait pengurusan proyek dan tenaga kerja kontrak di Pemkot Bekasi dengan jumlah Rp30 juta. Pemberian uang dilakukan oleh Direktur PT MAM Energindo, Ali Amril dan diterima oleh Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Bekasi, M Bunyamin.

Berikutnya, Firli mengungkap Pepen menerima sejumlah uang dari pegawai di Pemkot Bekasi sebagai imbalan atas posisi mereka. Hanya saja, tak dirinci berapa jumlah uang yang diterima politikus Partai Golkar tersebut.

Firli hanya menyebut uang yang ditemukan dari hasil pemberian para pegawai itu hanya tersisa Rp600 juta saat operasi senyap dilakukan. Dia menyebut, Pepen menggunakan uang yang diterimanya itu untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya.

Adapun dalam penetapan tersangka tersebut, Pepen bersama M. Bunyamin yang merupakan Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Bekasi; Lurah Kati Sari, Mulyadi alias Bayong; Camat Jatisampurna, Wahyudin; dan Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kota Bekasi, Jumhana Lutfi ditetapkan sebagai penerima suap.

Sementara Direktur PT MAM Energindo, Ali Amril; swasta bernama Lai Bui Min; Direktur PT Kota Bintang Rayatri, Suryadi; dan Camat Rawa Lumbu, Makhfud Saifudin ditetapkan sebagai pemberi suap.

Usai ditetapkan sebagai tersangka, Pepen enggan berkomentar apapun. Dia memilih bungkam dan menunduk lesu setelah diperiksa penyidik selama 24 jam.

Sikap yang sama juga ditunjukkan para tersangka lainnya. Selanjutnya, Pepen bersama delapan tersangka lainnya akan ditahan disejumlah rumah tahanan (rutan) KPK yang berbeda.

"Para tersangka saat ini dilakukan penahanan di Rutan selama 20 hari pertama terhitung sejak tanggal 6 Januari 2022 sampai 25 Januari 2022," ungkap Firli.

Atas perbuatannya, Pepen dan penerima suap lainnya disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan pasal 12 huruf f serta Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sedangkan para pemberi suap disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.