Wah, Industri Tekstil di Ujung Tanduk karena Banjir Karpet Impor!
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendesak pemerintah untuk menerapkan safeguard atau tindak pengamanan atas impor produk karpet dan penutup lantai tekstil. Hal ini untuk menyelamatkan industri tekstil dalam negeri dari gempuran produk-produk luar negeri.

Ketua Komite Karpet dan sajadah BPN API Jivat Khiani mengatakan, sejak tahun 2017 hingga 2019 impor produk-produk karpet dan penutup lantai tekstil terus meningkat sebesar 25,2 persen. Sehingga, menyebabkan ancaman kerugian serius pada industri dalam negeri.

Lebih lanjut, Jivat berujar, kondisi ini memaksa produsen dalam negeri memangkas kapasitas produksinya hingga 40 persen. Sehingga kinerja industri mengalami penurunan.

"Dengan turunnya produksi maka otomatis telah terjadi pengurangan karyawan yang cukup banyak," tuturnya, dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Senin, 24 Agustus.

Jivat mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 produk-produk tersebut mayoritas berasal dari China dan Turki, masing-masing sebesar 63,43 persen dan 19,16 persen.

Sementara, harga rerata produk impor dari kedua negara tersebut sebesar 2,5 dolar Amerika Serikat (AS) per kilogram (kg) atau setara Rp37.000 dan 1,36 dolar AS atau setara Rp23.600 per kg.

Menurut Jival, harga tersebut menunjukkan kualitas barang yang dimpor merupakan barang-barang yang memiliki kualitas rendah. Bahkan tidak sesuai dengan standar kesehatan dan keselamatan. Seperti memakai bahan foam atau busa yang mudah terbakar dan sisa limbah industri tekstil yang tidak baik untuk kesehatan.

"Beberapa tahun terakhir impor produk karpet dan sajadah telah menggerus pangsa pasar industri dalam negeri terutama dengan harga yang lebih rendah," jelasnya.

Tak hanya itu, Jival mengatakan, pihaknya juga mengalami kendala adanya disharmonisasi tarif bea masuk impor yang dikenakan terhadap bahan baku utama berupa polypropilene resin yaitu sebesar 10 persen, sedangkan tarif bea masuk impor untuk benang polypropilene lebih rendah yaitu sebesar 5 persen.

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif BPN API Rizal Tanzil Rakhman mengatakan, banyaknya barang barang impor karpet dan sajadah yang membanjiri pasar domestik, membuat industri dalam negeri sudah berada dalam kondisi yang kritis dan tidak akan dapat bertahan lebih lama.

Lebih lanjut, Rizal mengatakan, upaya untuk memberikan safeguard perlu direalisasikan segera oleh pemerintah. Hal ini untuk memastikan industri tekstil dapat bertahan.

"Kami harapkan industri karpet dan sajadah dalam negeri dapat diselamatkan dan menghindari terjadinya banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masif," kata Rizal.

Sekadar informasi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam tiga tahun terakhir atau 2017 hingga 2019, terjadi peningkatan volume impor karpet dan penutup lantai tekstil lainnya dengan tren sebesar 25,2 persen per tahun.

Pada 2017, volume impor produk ini tercatat sebesar 21.907 ton, kemudian pada 2018 naik 31,0 persen menjadi sebesar 28.706 ton, dan pada 2019 naik 19,7 persen menjadi sebesar 34.357 ton.

Negara asal impor karpet dan penutup lantai tekstil lainnya di antaranya China, Turki, Korea Selatan, dan Jepang. Sementara, volume impor produk ini terbesar berasal dari Tiongkok dengan pangsa impor pada 2017 sebesar 50,2 persen, kemudian pada 2018 naik menjadi 56,1 persen, dan pada 2019 naik menjadi 63,4 persen dari total impor di Indonesia.