JAKARTA - Bareskrim Polri menyebut para tersangka kasus investasi bodong suntik modal alat kesehatan (alkes) menggunakan surat perintah kerja (SPK) Kementerian palsu. Surat itu digunakan mereka agar para calon korban percaya dan menginvestasikan uangnya.
"Iya betul, (tersangka, red) menggunakan SPK palsu," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Whisnu Hermawan kepada VOI, Kamis, 23 Desember.
Dari hasil pemeriksaan sementara, para tersangka ini mengaku membuat SPK tersebut. Namun, belum dirinci proses atau cara pemalsuannya.
"Membuat sendiri," kata Whisnu.
Sebelumnya, Polri mengungkap modus penipuan kasus investasi suntik modal alat kesehatan (alkes). Ketiga tersangka disebut mencatut nama kementerian dan membawa surat perintah kerja.
"Untuk meyakini para investor atau korban korbannya, dia menampilkan satu paket paket alkes. Membuat keyakinan dan ada surat perintah kerja dari kementerian terkait," ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Rabu, 22 Desember.
BACA JUGA:
Selain itu, para tersangka pun mengiming-imingi para korbannya dengan kuntungan yang besar. Korban pun tertarik dan menginvestasikan uangnya.
"Nah ini pembuatan surat ini yang membuat yakin, selain dia tergiur dengan dia bilang di sini cuan atau keuntungan yang besar sampai 30 persen tapi dia juga diyakini dengan surat perintah kerja," ungkap Ramadhan.
Ada pun, Bareskrim Polri meringkus tiga tersangka di kasus investasi bodong suntik modal alat kesehatan (alkes). Dalam kasus ini kerugian ditaksir mencapai Rp1,3 triliun. Para tersangka berinisial DR, VAK dan B.
Tersangka V ini disebut berperan sebagai bos di PT Aura Mitra Sejahtera. Kemudian, tersangka B memiliki peran yang cukup besar. Dia disebut sebagai direksi PT Aura Mitra Sejahtera atau perusahaan yang terlibat investasi bodong tersebut.
Sedangkan, tersangka DR berperan mencari calon korban. Dia merayu dan memperdaya agar calon korban mau menginvestasikan hartanya.
Para terduga pelaku dipersangkakan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait penipuan atau perbuatan, Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP terkait Tindak Pidana Penggelapan.
Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 105 dan/atau Pasal 106 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan, dan Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dan/atau PASAL 5 dan/atau Pasal 6 Jo Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).