Bagikan:

JAKARTA - Selebgram Rachel Vennya mengaku membayar Rp40 juta kepada Ovelina yang merupakan protokol Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Pembayaran ini dimaksudkan agar dia, bersama pacarnya yaitu Salim Nauderer dan manajernya, Maulida Khairunnisa tidak harus menjalankan karantina setelah tiba dari Amerika Serikat.

Menanggapi hal ini, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan dugaan pemberian uang puluhan juta rupiah itu harus diusut. Apalagi, uang tersebut ditujukan agar Rachel dan rombongannya tidak perlu melakukan karantina sesuai aturan yang berlaku.

"Dalam koteks pemberantasan korupsi maka suap harus diurus, diproses kalau melibatkan siapapun," kata Boyamin kepada VOI.

Boyamin mengatakan dikembalikan atau tidaknya uang tersebut, berdasarkan pernyataan Ovelina, harus tetap diusut. "Justru kalau dikembalikan itu harusnya jadi bukti kuat telah terjadi suap," tegasnya.

Ia kemudian mengatakan pemberian uang ini bisa saja sebagai bentuk suap jika memang melibatkan penyelenggara negara atau pejabat. Tapi, dilakukan oleh masyarakat umum maka bisa masuk dalam tindak pidana pungutan liar dan masuk ke dalam praktik korupsi.

Namun, untuk memperjelas dugaan yang ada, polisi harus bergerak apalagi sudah ada pengakuan langsung dari Rachel Vennya.

"Harus dilacak, dia (Ovelina, red) bertugas di level apa atau lembaga apa. Apakah lembaga pemerintahan yang terkait dengan fungsi hukum atau fungsi lain," ungkap Boyamin.

"Dilacak juga peran protokoler itu. Tapi apapun itu, bisa dikenakan pasal suap, pungutan liar atau apapun karena dalam konteks itu, mereka tetap mengambil keuntungan dalam proses yang harusnya (Rachel Vennya, red) menjalankan karantina jadi tidak," imbuhnya.

Boyamin juga menyayangkan mengapa tak ada tuntutan yang diajukan terkait pemberian uang ini. Hukuman hakim, kata Boyamin, memang hanya sebatas pelanggaran UU Karantina karena tuntutannya yang diajukan.

"Jadi ini mestinya, penerima suap atau uang tidak semata-mata dikenakan pasal melanggar karantina tapi juga pasal yang berkaitan dengan korupsi tadi," ujarnya.

Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan vonis yang dijatuhkan dalam proses peradilan tentu mengacu pada dakwaan atau tuntutan jaksa penuntut umum.

Hakim, kata dia, tidak boleh melebihi apa yang dituntut apalagi menjatuhkan pasal dan ketentuan yang tidak didakwakan karena putusan yang dihasilkan bisa batal demi hukum. Sehingga, harusnya sejak awal, fakta pemberian suap atau pembayaran itu harusnya dimasukkan ke dalam dakwaan.

"(Pemberian Rp40 juta, red) bisa diputus hakim pengadilan karena pengadilan hanya memutus apa yang didakwakan dan dituntut oleh jaksa penuntut umum," kata Fickar.

Lebih lanjut, Fickar bilang, jika perihal suap maupun pemberian yang dilakukan Rachel pada Ovelina tidak ada dalam berita acara pemeriksaan (BAP) pihak kepolisian harusnya menimbulkan pertanyaan.

"Apakah berita acara di kepolisian ada pasal suapnya. Kalau ada (tapi, red) jaksa yang tidak menuntutnya maka patut diduga ada apa-apanya. Tetapi jika dari BAP kepolisian tidak ada maka yang patut dipertanyakan kepolisian yang memprosesnya," ungkapnya.

"Mengapa (pemberian uang, red) tidak dimasukkan perkara suapnya, jangan-jangan ada apa-apanya. Kalau memang ada buktinya, harusnya diproses," imbuh Fickar.

Sebagai informasi, Rachel mengaku kabur dari pusat karantina karena merasa tidak nyaman. Hal ini, kata dia, pernah dirasakannya setelah menjalankan prosedur yang sama sepulangnya dari Dubai, Uni Emirat Arab.

Dia lantas mengaku membayar uang sebesar Rp40 juta agar bisa kabur dari Wisma Atlet Pademangan, Jakarta. Uang itu diserahkan kepada Ovelina yang kemudian dikembalikan.

Sementara itu, Ovelina mengaku, uang Rp40 juta itu diminta oleh Satgas COVID-19 Bandara Soekarno-Hatta. Selanjutnya, uang itu ditransfer oleh Rachel ke rekening petugas Satgas COVID-19 bernama Cania sebelum diterimanya.