Bagikan:

JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menjelaskan pimpinan MPR RI dalam Rapat Pimpinan MPR RI meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani menghargai hubungan antar lembaga tinggi negara, karena Menkeu beberapa kali tidak datang memenuhi undangan rapat dari pimpinan MPR RI dan Badan Penganggaran MPR RI, tanpa adanya alasan yang jelas.

Padahal, kehadiran Menteri Keuangan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan koordinasi dengan MPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat yang diisi oleh 575 anggota DPR RI dan 136 anggota DPD RI.

"Sebagai Wakil Ketua MPR RI yang mengkoordinir Badan Penganggaran, Pak Fadel Muhammad merasakan betul sulitnya berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Sudah beberapa kali diundang oleh Pimpinan MPR, Sri Mulyani tidak pernah datang. Dua hari sebelum diundang rapat, dia selalu membatalkan datang. Ini menunjukkan bahwa Sri Mulyani tidak menghargai MPR sebagai lembaga tinggi negara," tegas Bamsoet di Jakarta, Selasa, 30 November.

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III Bidang Hukum & Keamanan DPR RI ini menjelaskan, beberapa kali Badan Anggaran MPR juga mengundang Sri Mulyani rapat untuk membicarakan refocusing anggaran penanggulangan Covid-19. Tetapi setiap diundang tidak hadir. Padahal, MPR RI senantiasa mendukung berbagai kinerja pemerintah dalam menangai pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi nasional. 

Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, selain berimbas kepada pandemi kesehatan dan ekonomi, pandemi Covid-19 juga bisa mengakibatkan pandemi moral berupa terpinggirkannya nilai-nilai luhur, kearifan lokal, dan jatidiri bangsa. Dampak kerusakannya bisa jauh lebih dahsyat, sebagai ancaman kasat mata yang tidak terdeteksi diagnosa medis.

"Jadi, selain mendukung pemerintah menggencarkan vaksinasi kesehatan memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19, MPR RI juga terus menggencarkan vaksinasi ideologi melalui Sosialisasi Empat Pilar MPR RI untuk mencegah sekaligus memutus mata rantai penyebaran radikalisme dan demoralisasi generasi bangsa," ujar Bamsoet.

Sebelumnya, Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad, mengaku kesal kepada Menkeu Sri Mulyani yang kerap memangkas anggaran. Namun, belakangan juga banyak kalangan masyarakat yang kecewa dengan kinerja menteri keuangan dua periode tersebut.

"Kita punya tugas yang lain di masyarakat, tetapi teman-teman semuanya tadi bersepakat meminta saya untuk menyampaikan hal ini dan kami pimpinan MPR bertanggung jawab terhadap pernyataan yang saya sampaikan ini. Bapak Bambang juga mengatakan tadi di sampaikan Pak Fadli kepada media nanti kita tanggung jawab bersama-sama. Jadi kita merasa kecewa, dengan berbagai sikap,” ujar Fadel.

Pimpinan MPR dari unsur DPD RI itu menilai, desakan untuk mencopot Sri Mulyani dari jabatannya merupakan hal yang perlu dipertimbangkan oleh Presiden Jokowi. Pasalnya, kata Fadel, kebijakan dan program Menkeu dalam menstabilkan keuangan negara, juga tidak terlalu bagus. "Kita melihat berbagai kebijakan keuangan yang tidak perlu saya sampaikan di sini panjang lebar juga tidak bagus,” katanya.

Bahkan Fadel juga mengaku mendapatkan banyak laporan dari para menteri yang mengeluhkan Menkeu Sri Mulyani dalam mengelola keuangan negara.

"Ada beberapa teman-teman juga menyampaikan konflik, konflik antara menteri dengan menteri keuangan sangat tajam di kabinet saat ini. Mereka semua menyampaikan dan semua yang hadir disitu pimpinan-pimpinan partai politik," kata Fadel.

"Hanya ini kita minta agar presiden memberhentikan mencopot menteri keuangan karena tidak cakap dalam mengatur kebijakan pemerintahan yang ada,” katanya.

 

Sementara itu, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, menilai permintaan Pimpinan MPR yang disampaikan Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad tentu mengejutkan. Sebab menurutnya, sebagai pimpinan MPR bukanlah ranahnya untuk meminta presiden memecat menterinya.

 

"Indonesia sebagai negara yang menganut presidensil, tentu mengangkat dan memberhentikan menteri menjadi hak prerogatif presiden. Karena itu, siapa pun, termasuk MPR, tidak berhak menekan presiden untuk memecat menterinya," ujar Jamiluddin, Rabu, 1 Desember. 

Menurutnya, akan berbeda bila Indonesia menganut sistem parlementer. Di mana, legislatif masih dimungkinkan untuk cawe-cawe urusan pengangkatan dan pemberhentian menteri.

"Jadi, MPR sudah melampaui batas kewenangannya ketika meminta Jokowi memecat Sri Mulyani. Pimpinan MPR seolah tidak memahami tugas dan fungsinya setelah UUD 1945 diamandemen," kata Jamiluddin. 

Karena itu, Jamiluddin menilai, Presiden Jokowi idealnya mengabaikan permintaan pimpinan MPR tersebut. "Sebab, kalau hal itu dituruti akan menjadi preseden buruk dalam kehidupan tata negara di Indonesia," tegssnya.