Langkah Pemerintah Cegah Masuknya COVID-19 Varian Omicron dari Afrika Selatan ke Tanah Air
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah telah menindaklanjuti sejumlah langkah untuk mencegah masuknya varian baru COVID-19 yaitu B.1.1529 atau Omicron ke Tanah Air. Salah satunya dengan mencegah pelaku perjalanan dari sejumlah negara di Afrika serta Hongkong.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan secara resmi melarang warga negara asing (WNA) dari sejumlah negara di Afrika serta Hongkong masuk ke Indonesia. Pelarangan ini secara resmi diberlakukan pada hari ini atau Senin, 29 November.

"Pelarangan masuk untuk WNA yang memiliki riwayat perjalanan selama 14 hari terakhir ke negara-negara berikut Afrika Selatan, Botswana, Namibia, Zimbabwe, Lesotho, Mozambique, Eswatini, Malawi, Angola, Zambia, dan Hongkong," kata Luhut dalam konferensi pers yang ditayangkan secara daring, Minggu, 28 November.

Jumlah negara ini, sambungnya, bisa saja berkurang atau bertambah. Penyebabnya, pemerintah akan terus melakukan evaluasi secara berkala.

Dalam upaya mencegah penyebaran varian baru ini, pemerintah juga menetapkan kebijakan baru pelaksanaan karantina. Bagi WNI yang pulang ke Tanah Air dan punya riwayat perjalanan dari 11 negara itu akan dikarantina selama 14 hari.

Sedangkan untuk warga negara asing yang datang ke Indonesia selain dari belasan negara tersebut, harus menjalankan karantina selama 7 hari atau bertambah empat hari dari kebijakan sebelumnya.

Selain itu, pemerintah lewat Kementerian Kesehatan juga akan meningkatkan genomic sequencing bagi pelaku perjalanan internasional. "Terutama dari kasus-kasus positif yang dari riwayat perjalanan ke luar negeri untuk mendeteksi varian Omicron ini," tegas Luhut.

Mengapa Omicron perlu diantisipasi pemerintah?

Walau masih diteliti oleh ahli virologi di seluruh dunia, COVID-19 varian Omicron ini harus tetap diwaspadai. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan setidaknya ada tiga kelompok bahaya yang kini tengah diteliti.

Kelompok pertama adalah meningkatkan keparahan yang hingga saat ini belum terbukti oleh seseorang yang terinfeksi. Kemudian, menurunkan antibodi dari kekebalan setelah seseorang divaksinasi dan terpapar COVID-19.

"Ada 3 kelompok bahaya, meningkatkan keparahan, meningkatkan transmisi, menurunkan kemampuan antibodi dari infkesi dan vaksinasi. Yang pertama belum ada konfirmasi, yang kedua dan ketiga kemungkinan besar iya. Tapi sekali lagi belum konfirmasi karena sedang diteliti oleh para ahlinya," ungkap Budi dalam konferensi pers yang sama.

Ia lantas memaparkan saat ini sudah ada 9 negara yang memiliki kasus positif varian Omicron per 28 November. Adapun negara terbanyak penularan varian baru ini adalah Afrika Selatan dengan 99 Kasus.

Selanjutnya, kasus juga telah terdeteksi di Botswana, Inggris, Hongkong, Australia, Italia, Israel, Belgia, dan Republik Ceko. Lalu, Budi menyebut ada 4 negara yang berkemungkinan terdeteksi Omicron atau probable yakni Belanda, Jerman, Denmark, dan Austria.

"Jadi kasus konfirmasi positif (varian Omicron) itu ada di 9 negara. Kasus probable atau masih mungkin ada di 4 negara. Jadi kita juga tidak perlu terlalu panik dan terburu buru, dan ambil kebijakan tidak basis data," katanya.

Omicron masuk dalam kategori kewaspadaan tinggi

Menyebarnya varian ini kemudian ditanggapi oleh World Health Organization (WHO). Pakar ilmu kesehatan Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama mengatakan organisasi tersebut masuk ke dalam kategori kewaspadaan tertinggi atau variant of concern (VOC) setelah melakukan pengamatan.

"WHO sudah menggolongkannya dalam VOC berdasar rekomendasi WHO's Technical Advisory Group on SARS-CoV-2 Virus Evolution (TAG-VE)," ungkapnya seperti dilansir dari Antara.

Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu mengatakan varian tersebut memiliki karakteristik lebih mudah menular, menyebabkan penyakit yang lebih parah, secara signifikan mengurangi netralisasi oleh antibodi, dapat mengurangi efektivitas pengobatan, vaksin atau diagnosis medis.

"Pertimbangan utamanya adalah karena banyaknya mutasi yang terjadi, ada yang mengatakan 30 di spike protein dan ada juga yang menyatakan sampai 50 total mutasi," ungkapnya.

Dengan kondisi itu, Tjandra mengatakan Omicron menjadi varian virus dengan mutasi yang paling banyak selama pandemi COVID-19 terjadi dan sebagian mutasi ini berjenis baru yang dikhawatirkan memicu penyebaran kasus secara cepat.

"Dalam beberapa minggu ini jumlah kasus naik tajam di hampir semua provinsi Afrika Selatan. Kalau tadinya di Eropa baru hanya di temukan di Belgia, maka sejak kemarin bertambah tiga negara lain, Jerman, Inggris dan Italia, selain di Israel dan Hongkong sehingga sudah lintas benua," ujarnya.

"WHO cepat sekali mengelompokkan Omicron dalam VOC. Jadi jarak antara virus ditemukan dengan dinyatakan sebagai VOC adalah hanya 17 hari saja," pungkas Tjandra.