Kerugian Akibat Ledakan Beirut Mengancam Krisis yang Lebih Luas di Libanon
Beirut setelah ledakan (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Gubernur Beirut Marwan Abboud mengatakan bahwa kerugian kolektif setelah ledakan Beirut pada 4 Agustus mencapai 10 hingga 15 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Abboud juga menjelaskan jumlah tersebut termasuk kerugian langsung dan tidak langsung terkait dengan bisnis. Kerugian akibat ledakan dinilai akan memicu krisis-krisis lain yang disebabkan karena pincangnya pelabuhan Beirut. 

Selain krisis karena ledakan Beirut, Libanon juga tengah dilanda krisis pangan. Melansir Reuters, Kamis 6 Agustus, Abboud mengatakan mereka tengah menghadapi keterbatasan jumlah gandum. Namun ia tetap berusaha tegar dengan mengatakan krisis masih dapat dilewati tanpa campur tangan internasional.

Diketahui, ledakan tersebut berasal dari sebuah gudang yang menyimpan amonium nitrat dalam jumlah besar. Ledakan membuat pusat kota Beirut porak poranda. Radius ledakan bahkan mencapai bandara Beirut yang jaraknya lebih dari lima mil dari lokasi ledakan.

Diperkirakan 200.000 orang kehilangan tempat tinggalnya. Jumlah korban jiwa juga masih bisa terus meningkat, dengan banyaknya laporan hilangnya orang. 

Dampak ledakan dinilai bakal memperparah krisis ekonomi Libanon yang sudah hancur sebelum adanya ledakan. Bagaimana tidak, pelabuhan Beirut yang menampung satu-satunya gudang biji-bijian di negara itu dan menerima 80% impor bakal pincang untuk sementara waktu. 

“Di sanalah gandum disimpan, obat disimpan, bahan bakar disimpan. Sekarang semuanya hilang,” kata salah seorang korban, Fatima Al Mahmoud. 

Gelombang krisis

Ekonomi Libanon sendiri sudah berada di ambang kehancuran. Sejak Oktober 2019 lebih dari satu juta pengunjuk rasa di negara berpenduduk sekitar 6 juta orang turun ke jalan. 

Mereka mengarahkan kemarahan pada layanan pemerintah yang tidak efisien. Belum lagi soal dugaan adanya korupsi dalam sistem politik berbasis patronase Libanon, campur tangan dari negara-negara asing seperti Iran dan krisis ekonomi terburuk sejak 1990.

Penutupan kegiatan pemerintahan sebagai tanggapan terhadap pandemi COVID-19 menghentikan gerakan protes Libanon, tetapi itu juga berdampak terhadap perekonomian mereka. Satu dari tiga warga Libanon menganggur, mata uang telah kehilangan 80 persen nilainya terhadap dolar sejak musim gugur lalu. 

Sementara itu fasilitas listrik utama hanya tersedia selama beberapa jam setiap hari. Sebuah laporan menunjukkan bahwa hampir satu juta orang di Beirut tak memiliki uang untuk membeli makanan.