JAKARTA - Gubernur Beirut Marwan Abboud mengatakan, banyak pekerja asing dan sopir truk hilang dan diperkirakan tewas akibat ledakan gudang pelabuhan Beirut, Libanon. Hal ini mempersulit upaya untuk mengidentifikasi para korban.
"Ada banyak orang hilang yang tidak bisa kami identifikasi. Mereka adalah supir truk dan pekerja asing," kata Marwan Abboud kepada saluran televisi Al Jadeed seperti yang dikutip Reuters.
"Tidak ada yang mengidentifikasi mereka. Ini adalah tugas sulit yang membutuhkan waktu."
Pemerintah Suriah mengatakan, sekitar 45 dari lebih 158 orang yang dikonfirmasi tewas dalam ledakan itu adalah warga negara Suriah.
Warga Suriah merupakan angkatan kerja asing terbesar di Lebanon, di mana mereka bekerja di bidang konstruksi, pertanian, dan transportasi.
Diberitakan sebelumnya, Marwan Abboud mengatakan, kerugian kolektif setelah ledakan Beirut pada 4 Agustus mencapai 10-15 miliar dolar Amerika Serikat (AS).
Marwan Abboud juga menjelaskan, jumlah tersebut termasuk kerugian langsung dan tidak langsung terkait dengan bisnis. Kerugian akibat ledakan dinilai akan memicu krisis-krisis lain yang disebabkan karena pincangnya pelabuhan Beirut.
Diketahui, ledakan tersebut berasal dari sebuah gudang yang menyimpan amonium nitrat dalam jumlah besar. Ledakan membuat pusat kota Beirut porak poranda. Radius ledakan bahkan mencapai bandara Beirut yang jaraknya lebih dari lima mil dari lokasi ledakan.
Diperkirakan 200.000 orang kehilangan tempat tinggalnya. Jumlah korban jiwa juga masih bisa terus meningkat, dengan banyaknya laporan hilangnya orang.
Dampak ledakan dinilai bakal memperparah krisis ekonomi Libanon yang sudah hancur sebelum adanya ledakan. Bagaimana tidak, pelabuhan Beirut yang menampung satu-satunya gudang biji-bijian di negara itu dan menerima 80 persen impor bakal pincang untuk sementara waktu.
“Di sanalah gandum disimpan, obat disimpan, bahan bakar disimpan. Sekarang semuanya hilang,” kata salah seorang korban, Fatima Al Mahmoud.
Investigasi penyebab ledakan Beirut mulai menemukan titik terang. Otoritas yakin amonium nitrat yang dibawa oleh kapal Rusia kemudian disimpan di pelabuhan Beirut tanpa keamanan selama bertahun-tahun adalah penyebabnya.
Sebuah dokumen yang dikutip CNN menunjukkan 2.750 metrik ton amonium nitrat yang ada di Pelabuhan Beirut dibawa oleh kapal Rusia, MV Rhosus pada 2013. Sebenarnya kapal itu hendak berlayar ke Mozambik. Namun berhenti di tengah jalan karena kesulitan keuangan dan berlabuh di Beirut.
"Otoritas Pelabuhan seharusnya tidak mengizinkan kapal untuk menurunkan bahan kimia ke pelabuhan," kata Direktur Bea Cukai Libanon, Badri Daher. "Bahan kimia itu awalnya dikirim ke Mozambik, bukan Lebanon."
Kata Daher, begitu tiba, kapal tidak pernah meninggalkan pelabuhan Beirut. Ia bilang otoritas Libanon berulang kali memperingatkan bahwa kargo itu seperti "bom yang mengambang."
"Karena bahaya yang ditimbulkan oleh barang-barang yang disimpan dalam kondisi iklim yang tidak sesuai ini, kami tegaskan kembali permintaan kami kepada Otoritas Pelabuhan untuk segera mengekspor kembali barang-barang tersebut. Untuk menjaga keamanan pelabuhan, beserta mereka yang bekerja di dalamnya," tertulis dalam surat peringatan yang telah diberikan sejak 2016. Surat itu ditujukan kepada hakim yang menangani kasus tersebut.