JAKARTA - Libanon harus segera melakukan kunci sementara (kuncitara) atau lockdown wilayah selama dua pekan setelah terjadi lonjakan kasus COVID-19. Kuncitara dilakukan setelah negara itu terdampak akibat ledakan besar di pelabuhan Beirut.
"Kami hari ini menyatakan keadaan siaga umum dan kami membutuhkan keputusan berani untuk menutup (negara) selama dua minggu," kata Menteri Kesehatan Libanon, Hamad Hassan kepada radio Voice of Lebanon.
Melansir Reuters, Senin 17 Agustus, Libanon mencatat rekor 439 infeksi baru dan enam kematian akibat virus itu dalam 24 jam.
“Kami semua menghadapi tantangan nyata dan jumlah yang tercatat dalam periode terakhir sangat mengejutkan,” kata Hassan.
Hassan juga menyebutkan tempat tidur perawatan intensif di rumah sakit negeri dan swasta sekarang penuh. Tapi dia menegaskan, pihak berwenang tidak akan menutup bandara. Hal tersebut dikarenakan jumlah kasus COVID-19 sebaian besar berasal dari dalam negeri.
“Bahaya sebenarnya adalah penyebaran di masyarakat,” ujar Hassan.
“Setiap orang harus waspada dan mengambil tindakan pencegahan yang paling ketat,” imbuh dia.
Libanon, yang sudah lama berada dalam krisis keuangan, sedang berjuang dengan lonjakan COVID-19 sebelum ledakan di Beirut pada 4 Agustus. Ledakan itu menewaskan 170 orang lebih, menghancurkan sebagian ibu kota, dan mendorong pemerintah untuk mengundurkan diri.
BACA JUGA:
Ledakan gudang merusak banyak rumah sakit dan membuat mereka kewalahan dengan lebih dari 6.000 orang terluka. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pekan lalu mengatakan, ledakan itu juga membuat sekitar setengah dari 55 pusat medis di seluruh Beirut tidak dapat berfungsi.
Setelah ledakan itu menumbangkan hampir seperempat juta orang, risiko penyebaran virus disebut WHO meningkat. Sementara data Kementerian Kesehatan Libanon mencatat ada 8.881 kasus dan 103 kematian sejak Februari
Ledakan parah dan beberapa fasilitas kesehatan yang lumpuh diperparah dengan keadaan ekonomi Libanon yang juga tidak baik-baik saja. Mata uang Libanon kehilangan sekitar 70% nilainya sejak Oktober 2019 dan Bank Dunia memperkirakan setengah dari populasi Libanon akan miskin pada 2020.
Keadaan politik Libanon juga tengah memanas setelah pemerintahnya, termasuk Perdana Menteri Libanon Hassan Diab, mengundurkan diri. Diab mengatakan bahwa ia memihak rakyat dengan cara mengundurkan diri, menyalahkan elite politik yang korup dan tidak becus dalam menangani ledakan di Beirut. Banyak masyarakat yang turun ke jalan, melakukan unjuk rasa menuntut agar pemerintah tidak asal urus negara.