Bagikan:

JAKARTA - Dalam pidato pengunduran dirinya Senin malam, Perdana Menteri Libanon Hassan Diab mencaci maki elite politik yang berkuasa di Libanon. Ia menyebut para elite politik sebagai "aparat korupsi yang lebih besar daripada negara."

Ketidakstabilan pemerintahan Libanon semakin goyah setelah ledakan Beirut. Bencana itu dianggap sebagai kelalaian pemerintah dalam mengurus negara.

Masyarakat tumpah ke jalan melakukan unjuk rasa menuntut pemerintah tak asal urus negara. Mereka mendesak agar pemerintah lebih serius dalam menjalankan fungsinya. 

Diab sendiri menyebut ledakan itu sebagai bencana yang tak terkira. Untuk itu ia memutuskan untuk berdiri bersama rakyat. 

"Kami telah berjuang dengan gagah berani dan bermartabat. Antara kita dan perubahan adalah penghalang besar yang sangat kuat," kata Diab dikutip CNN

Diab membandingkan ledakan di Beirut dengan "gempa bumi yang mengguncang negara" yang mendorong pemerintahnya untuk mundur. Diab mengundurkan diri bersama tiga menteri kabinet dan tujuh anggota parlemen.

Sementara itu demonstrasi yang disertai aksi kekerasan terjadi di luar kantor perdana menteri menjelang pidato. Puluhan pengunjuk rasa melemparkan batu, kembang api, dan bom molotov ke pasukan keamanan yang menanggapi dengan gas air mata. Beberapa demonstran mencoba memanjat dinding di luar Lapangan Parlemen.

Ekonomi politik Libanon terpuruk

Libanon sendiri mengalami krisis ekonomi terburuk dalam beberapa dekade, ditambah dengan meningkatnya kasus COVID-19 dan tuduhan korupsi dan salah urus oleh pemerintah. Ledakan di Beirut, yang merusak atau menghancurkan sebagian besar ibu kota Libanon terkait dengan simpanan bahan kimia yang berpotensi meledak. Bahan kimia tersebut telah lama diabaikan dan menjadi pukulan terakhir bagi banyak penduduk Beirut.

Diab, seorang reformis, digiring ke tampuk kekuasaan Desember 2019, dua bulan setelah rakyat menggulingkan pemerintah sebelumnya. Pemerintahannya terdiri dari para teknokrat dan didukung oleh partai-partai politik besar, termasuk kelompok politik dan militan yang didukung Iran, Hizbullah.

Sekarang negara itu akan ditugaskan untuk menemukan PM ketiganya dalam waktu kurang dari satu tahun. Proses penggantian harus segera dilakukan untuk menghadapi krisis yang terus meningkat yang dihadapi Libanon di sejumlah bidang.

Mata uang Libanon telah kehilangan sekitar 70 persen nilainya sejak protes anti-pemerintah yang dimulai sejak Oktober 2019. Kemiskinan telah melonjak, Bank Dunia memproyeksikan bahwa lebih dari setengah populasi negara itu akan menjadi miskin pada 2020.

Pemerintah dipandang tidak berdaya dalam menghadapi krisis perbankan yang berkembang. Libanon juga belum mengesahkan undang-undang kontrol modal, memperburuk krisis likuiditas yang parah di negara itu. Mayoritas masyarakat Libanon dikenakan batasan penarikan tunai yang ketat selama hampir satu tahun. Sementara itu, miliaran dolar AS secara luas diyakini telah ditarik dari Libanon oleh elite ekonomi negara itu, yang semakin menguras cadangan mata uang asing.

Kesengsaraan keuangan Libanon juga diperparah oleh kuncitara yang diberlakukan oleh pemerintah untuk menghentikan penyebaran COVID-19. Namun di sisi lain, kuncitara membuat ekonomi Libanon terhenti. Para menteri di bawah pemerintahan Diab telah berulang kali menuduh penguasa mengganggu rencana reformasi mereka.

Protes selama akhir pekan di Libanon adalah yang terbesar dan paling keras yang pernah terjadi dalam hampir setahun. Beirut bergejolak ketika pengunjuk rasa menduduki beberapa kementerian pemerintah dan melemparkan batu dan pecahan kaca ke pasukan keamanan. Polisi menembakkan gas air mata serta peluru karet, dalam beberapa kasus, tembak-menembak.