JAKARTA - Aktivis buruh Jumhur Hidayat mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonis dirinya hukuman penjara 10 bulan ke Pengadilan Tinggi Jakarta.
“Kami ajukan banding kemarin (17/11),” kata Koordinator Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) Oky Wiratama dikutip Antara, Kamis, 18 November.
TAUD merupakan tim kuasa hukum Jumhur yang terdiri atas pengacara publik LBH Jakarta dan Lokataru.
Oky menerangkan selama menempuh banding TAUD masih mendampingi Jumhur Hidayat sebagai penasihat hukum.
Oky, saat ditanya mengenai pertimbangan mengajukan banding, meneegaskan belum dapat menyampaikan isi memori banding atas putusan PN Jakarta Selatan.
“Pertimbangannya belum bisa saya sampaikan di sini, karena belum membuat memori bandingnya, masih akta pernyataan banding saja,” terang dia.
BACA JUGA:
Meskipun mengajukan banding, Jumhur sampai saat ini tetap menjalani hukumannya sebagai tahanan rumah sebagaimana diperintahkan oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan pekan lalu.
Majelis hakim PN Jakarta Selatan pada minggu lalu memvonis Jumhur hukuman penjara 10 bulan, tetapi ia tidak perlu dikurung di penjara salah satunya karena masalah kesehatan.
Jumhur telah dikurung di Rumah Tahanan Bareskrim Polri, Jakarta selama kurang lebih 7 bulan. Dengan demikian, masa hukumannya tersisa 3 bulan.
Usai mendengar putusan hakim, Jumhur yang ditemui di luar ruang sidang minggu lalu, mengatakan ia tidak puas terhadap putusan hakim. Ia berharap dapat bebas murni, karena unggahannya di akun Twitter pribadinya merupakan kritik terhadap kebijakan.
Jumhur terseret kasus pidana setelah ia pada Oktober 2020 mengunggah cuitan yang mengkritik Omnibus Law Cipta Kerja.
Cuitan Jumhur yang menjadi sumber dakwaan jaksa dan putusan hakim: “UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTORS dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini: 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja. Klik untuk baca: kmp.im/AGA6m2”.
Majelis hakim PN Jakarta Selatan berkeyakinan Jumhur bersalah melanggar Pasal 15 UU Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Vonis itu merupakan hasil pemeriksaan dari unsur-unsur dakwaan lebih subsider jaksa.
Bagi Jumhur dan tim kuasa hukumnya, pasal itu merupakan ancaman bagi demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia.