Bagikan:

JAKARTA - Pengacara Djoko Tjandra, Otto Hasibuan menilai penahanan kliennya di Rutan Salemba cabang Bareskrim Polri tidak sah. Anggapan ini ditepis Kejaksaan Agung (Kejagung) karena pengacara Djoko Tjandra dianggap salah menempatkan tafsiran aturan hukum.

“Yang dilakukan jaksa adalah eksekusi hukuman badan untuk menjalankan putusan hakim PK (Peninjauan Kembali), bukan melakukan penahanan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Hari Setiyono dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Senin, 3 Agustus.

Hakim Mahkamah Agung yang menangani PK menurut Hari tidak memberikan penetapan mengenai status terdakwa sebagaimana Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP. Otto sebelumnya menyinggung Pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP yang mengatur surat putusan pemidanaan harus memuat unsur ‘perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan'. 

“Sedangkan dalam upaya hukum peninjauan kembali tidak ada aturan yang dapat digunakan untuk melakukan penahanan, karena perkara tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena memang tidak terdapat kewenangan hakim PK untuk melakukan penahanan, apabila disebutkan maka justru merupakan hal yang melawan hukum,” sambungnya.

Eksekusi Djoko Tjandra dari Kejagung ke pihak Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, 31 Juli, pekan lalu, dilakukan berdasarkan putusan PK MA tanggal 11 Juni 2009. Dalam putusan PK yang diajukan jaksa, MA menyatakan Djoko Tjandra terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan berlanjut’.

Djoko Tjandra dalam putusan itu, dihukum pidana penjara selama 2 tahun, denda Rp 15 juta subsider pidana kurungan selama 3 bulan. Selain itu, hakim dalam putusan PK menyatakan barang bukti berupa dana di rekening Bank Bali Rp 546,468 miliar dirampas untuk dikembalikan ke negara.

Atas putusan itu, jaksa melaksanakan penegakan hukum pidana. Hal ini sesuai aturan Pasal 270 KUHAP, Pasal 30 ayat (3) huruf b UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Pasal 54 (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan ‘pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa’.

“Bahwa putusan PK tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga setelah terpidana berhasil ditangkap aka jaksa telah melaksanakan eksekusi pada Jumat 31 Juli berdasarkan surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Sedangkan eksekusi uang Rp 546,468 miliar sudah dilaksanakan jaksa pada tahun 2009,” imbuh Hari.

Atas klaim Otto soal penahanan tidak sah, Kejagung menegaskan eksekusi dilakukan sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sedangkan penahanan—seperti yang disebut pengacara Djoko Tjandra—yaitu penempatan tersangka atau terdakwa di  tempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum atau hakim dengan penetapan yang diatur dalam Undang-undang.