Bagikan:

JAKARTA - Pengacara Djoko Tjandra, Otto Hasibuan memprotes eksekusi kliennya ke Rutan Salemba cabang Bareskrim Polri. Eksekusi yang berujung penahanan itu dianggap tidak sah. 

“Penahanan Djoko Tjandra oleh Kejagung tidak sah karena putusan yang dieksekusi telah batal demi hukum berdasarkan Pasal 197 KUHAP,” kata Otto Hasibuan dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Minggu, 2 Agustus.

Dalil ini diajukan Otto terkait rangkaian proses hukum terhadap Djoko Tjandra. Djoko Tjandra mulanya diputus ‘lepas dari segala tuntutan hukum’ (ontslag van rechtsvervolging) pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 28 Agustus 2000.

Selanjutnya, jaksa penuntut umum pada tahun 2009 mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Upaya hukum ini disebut pengacara Djoko Tjandra, melanggar dan bertentangan dengan Pasal 263 ayat 1 KUHP. 

Alasannya, Pasal 263 ayat 1 KUHP disebut Otto menyatakan ‘putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap’ dikecualikan dari putusan yang dapat diajukan upaya hukum PK.

“Kemudian Pasal 263 ayat 1 KUHAP juga mengatur hak untuk mengajukan upaya hukum PK tidak dimiliki oleh jaksa penuntut umum. Karena itu jelas terbukti bahwa upaya hukum yang dilakukan JPU terhadap Djoko Tjandra sangatlah tidak berdasar dan melanggar Pasal 263 ayat 1 KUHAP,” papar dia.

Otto juga mengulas putusan PK yang diajukan jaksa. Mahkamah Agung mengetok putusan yang menyatakan Djoko Tjandra bersalah melakukan tindak pidana terkait kasus hak tagih (cessie) Bank Bali. Djoko Tjandra dalam putusan PK dihukum 2 tahun penjara dan membayar denda Rp 15 juta.

Atas putusan MA terhadap PK yang diajukan jaksa, Otto menyinggung Pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP yang mengatur surat putusan pemidanaan harus memuat unsur ‘perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan'. Pada Pasal 197 ayat 2, sambung Otto, diatur soal putusan batal demi hukum bila ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf k tidak dipenuhi.

“Oleh karena amar putusan PK (yang diajukan) jaksa di atas tidak memuat perintah penahanan terhadap Djoko Tjandra, maka putusan PK tersebut batal dmei hukum berdasarkan pasal 197 ayat 1 huruf k dan ayat 2 KUHAP,” tegas Otto.

Bila pun putusan PK yang diajukan jaksa dianggap tidak batal demi hukum, putusan tersebut menurut Otto tidak mengandung perintah penahanan.

“Saya berpendapat bahwa penahanan yang dilakukan Kejagung terhadap Djoko Tjandra pada 31 Juli tidak sah dan melawan hukum, oleh karenanya Djoko Tjandra harus segera dibebaskan,” ujar Otto.

Djoko Tjandra, terpidana korupsi, dieksekusi ke Rutan Cabang Salemba di Mabes Polri, Jumat, 31 Juli. Penempatan Djoko Tjandra di Rutan ini untuk sementara terkait pemeriksaan yang akan dijalani.

Proses administrasi eksekusi Djoko Tjandra dihadiri Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo, Kepala Rumah Tahanan Salemba Renharet Ginting, dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Ali Mukartono.

"Telah dilaksanakan eksekusi oleh jaksa penutut umum maka mulai malam ini yang bersangkutan saudara Djoko Tjandra menjadi napi di permasyarakatan dan menjadi warga binaan di lembaga permsyarakatan," kata Dirjen Pemasyarakatan (PAS) Reynhard Silitonga dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta Jumat, 31 Juli.