'Gubernur Monyet' Ali Sadikin yang Suka Marah-Marah dan Menampar Orang

JAKARTA - Gaya kepemimpinan Ali Sadikin kerap mengundang kontroversi. Sebagai Gubernur DKI Jakarta (1966-1977), Ali dikenal dengan gaya kepemimpinan keras. Ia sering marah-marah ketika bawahannya salah atau curang. Ali bahkan tak segan meninju mereka yang mengganggu ketertiban Jakarta, dari sopir ugal-ugalan hingga pencopet. Kebiasaan Ali setelah menuangkan kemarahan adalah meminta maaf dan melakukan koreksi.

Jakarta pernah dijuluki Kota Tersial oleh para ekspatriat karena pada era 1960-an Ibu Kota begitu kumuh. Permukiman tak tertata, sampah, jalan berlubang dan berdebu jadi masalah. Opsi gonta-ganti gubernur dilakukan Soekarno. Putra sang Fajar ingin melihat Jakarta sebagaimana cita-citanya dulu kala, sebagai mercusuar perjuangan bangsa.

Harapan Soekarno berkali-kali kandas. Mereka yang dipilih memimpin Jakarta tak pernah memuaskannya. Bung Karno bahkan pernah mencari nahkoda untuk Jakarta dari berbagai latar belakang. Bung Karno kemudian mengalihkan pilihan ke kalangan militer. Pilihan Bung Karno pun mengerucut pada satu nama yang dikenal keras kepala. Dia adalah Ali Sadikin.

“Ali Sadikin itu orang yang keras. Orangnya keras dalam bahasa Belanda, malah ada yang berkata, dia koppige vent, koppig (pria keras kepala). Saya kira dalam hal mengurus Jakarta Raya ini baik juga een beetje koppigheid (sedikit keras kepala).”

"Baik juga, apalagi ndoro den aju ndoro den aju sudah tahu, tidak boleh membuang sampah semau-maunya di muka rumah di pinggir jalan. Tapi ndoro den aju ndro den aju toh menaruhkan sampahnya di pinggir jalan. Nah, itu perlu dihadapi oleh orang yang sedikit keras kepala, yang sedikit koppig,” ungkap Bung Karno pada pelantikan Ali di Istana Negara, 28 April 1966.

Ali Sadikin di militer (Sumber: Perpusnas.go.id)

Pilihan Bung Karno tak salah. Ali mungkin tak punya pengalaman menjalankan pemerintahan kota. Tapi Ali mau belajar. Dalam memimpin Jakarta, bekal disiplin sebagai Mayor Jenderal Angkatan Laut digunakannya dengan baik. Siang-malam Ali Sadikin blusukan menjelajah pelosok Jakarta seorang diri. Ia pun sampai naik bus kota, masuk pasar, dan kampung kumuh.

Semua itu dilakukan Ali agar mendapat gambaran langsung akar masalah yang dihadapi Jakarta. Ia memiliki kemauan mendengar dan belajar sesuatu yang baru. Hasil pengamatannya jadi bekal mengubah Jakarta. Ali melahirkan ragam solusi, dari yang brilian sampai kontroversial. Apapun, pengambilan kebijakan Ali tak dapat digoyang. Suami Dokter Gigi Nani Sadikin ini menjalankan apa yang dianggapnya benar. Jakarta pun banyak berubah karenanya.

“Kunci dari ini kiranya terletak dalam pribadi Ali Sadikin. Dia terkenal seorang yang keras hati. Dan malahan seorang yang mengenalnya dari dekat mengatakan, dia dapat keras kepala sekali. Jika dia sudah yakin pada sesuatu, maka segalanya dia bersedia mempertaruhkan untuk melaksanakannya. Tetapi di samping ini dia punya rasa humor yang segar sekali. Dia tidak menganggap dirinya sendiri terlalu serius berat.”

“Dia dapat tertawa pada dirinya sendiri. Ini adalah sendi humor yang paling sehat. Ali Sadikin juga telah membuktikan dirinya berpikir cepat dan cerdas. Dapat menangkap dan memahami masalah. Ditambah pula dia punya kemahiran untuk berani mengambil putusan (meskipun yang kontroversial), dan berani pula memikul tanggung jawab atas tindakan dan putusannya,” tulis Mochtar Lubis dalam buku Ali Sadikin: Menggusur dan Membangun (1977).

Luapan emosi Ali Sadikin

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (Sumber: perpusnas.go.id)

Kesuksesan Ali Sadikin memimpin Jakarta tak lepas dari gaya kepemimpinannya yang keras. Ia dikenal sebagai kepala daerah yang suka marah-marah. Kata makian "sontoloyo," "goblok," dan "monyet" jadi yang paling sering keluar dari mulut Ali Sadikin. Selain itu, tak jarang pula Ali meninju mereka yang dinilai kelewat batas.

Sasaran kemarahan Gubernur Monyet --salah satu julukan Ali-- beragam. Kadang diluapkan kepada bawahannya. Tak jarang Ali meluapkan kemarahan pada orang-orang secara acak, siapapun yang ia nilai bisa merusak imej Jakarta yang sedang melangkah dari The Big Village menjadi Kota Metropolitan.

Djawatan Kereta Api --sekarang PT. Kereta Api Indonesia-- pernah jadi sasaran amarah Ali. Kelambanan Djawatan Kereta Api dalam memindahkan kotak-kotak sein dan rel kereta api membuat emosi Ali Sadikin mendidih. Kotak-kotak itu mengganggu lalu-lintas Jakarta. Kendati demikian Ali Sadikin tak marah kepada orang, tetapi pada kesalahannya.

“Ini adalah cara kerja kolonial yang lambat dan birokratis,” kata Ali Sadikin.

Pengemudi ugal-ugalan turut diomeli olehnya. Sopir-sopir sipil yang biasa mengemudi kendaraan milik militer jadi yang paling sering mendapat teguran. Mereka, kata Ali Sadikin tak memiliki sopan santun. Sopir sipil yang mengendarai kendaraan milik militer tak memiliki peri kemanusiaan serta rasa kasihan. Di jalanan para pengemudi itu ugal-ugalan dengan lagak melebihi anggota militer.

Ajian Ali untuk menghentikan perilaku semena-mena sopir sipil tak lain dengan bertindak keras. Ia pernah memberhentikan sebuah truk militer yang membawa pasir delapan ton. Tindakan pengemudi yang ugal-ugalan membuat Ali naik pitam. Tanpa berkata-kata Ali melayangkan tamparan. Tak satu kali, tapi berkali-kali.

“Di dalam mobil, saya masih bersungut-sungut. Dikira, karena sudah ABRI, boleh semaunya. Malahan seharusnya sebaliknya. Ia harus memperlihatkan contoh yang baik kepada rakyat. Terutama disiplin diperlukan dalam segala bidang,” kenang Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).

Demikian dengan para pencopet dan calo di Terminal Lapangan Banteng, yang kehadirannya dianggap merusak imej Jakarta. Ali pun memilih terlibat membantu penertiban lewat operasi penggerebekan. Mereka yang terjaring razia diminta berbaris. Setelahnya, Ali Sadikin sadikin menamparnya satu-persatu. Mereka lalu diminta menghadap Ali Sadikin di Balai Kota. Mereka yang sulit diatur langsung mendapatkan bogem mentah dari Ali Sadikin.

“Tapi ada yang membuat Ali Sadikin tak dibenci: ia mau meminta maaf. Ia bisa melihat kelemahannya sendiri dan kelemahan orang lain. Di Lapangan Banteng itu ia tahu orang yang cari nafkah dengan kasar dan kacau itu bukan oknum yang bersalah. Ia perlu lebih sabar. Sebab yang bersalah adalah kemiskinan. Tak lama kemudian di Lapangan Banteng dibangun sebuah stasiun bus yang bagus dan rapi. Para bekas calo diberi pekerjaan di situ. Tempat itu jadi tempat yang nyaman bagi siapa saja,” tutup Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Aladin (2008).

*Baca Informasi lain soal JAKARTA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya