Bagikan:

JAKARTA - Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah sosok sejuta pesona. Sebagai anak kiai hidup Gus Dur tak hanya dihabiskan untuk belajar agama tapi juga memperdalam budaya. Dunia film salah satu mediumnya. Ia gemar menonton film, dari film Rusia hingga Prancis.

Baginya, film laksana jendela ilmu pengetahuan. Pun banyak pembelajaran yang didapat dari flim, terutama terkait kemanusiaan. Gus Dur adalah kritikus film andal. Ia juga pernah jadi bintang film. Sedari kecil Gus Dur terhitung anak cerdas. Ia dapat mencerna dengan baik segala bentuk pelajaran di bangku sekolah. Gus Dur cenderung tak butuh belajar sekeras teman sebayanya.

Berkah itu membuat Gus Dur memiliki banyak waktu luang. Empunya celotehan “Gitu Aja Kok Repot!” jadi memiliki banyak waktu menggeluti hobinya: membaca dan nonton film. Kedua hobinya semakin memantapkan pandangan Gus Dur jikalau ilmu pengetahuan tak cuma ada di sekolahan. Ilmu pengetahuan bisa dipelajari dari mana saja, termasuk lewat film.

Kecintaan Gus Dur pada film semakin jadi kala dirinya melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Ia mulai mendalami film secara serius. Bahkan, hampir sebagian besar waktunya di Kota Pelajar dihabiskan untuk nonton film. Demi menonton film, Gus Dur rela mengayuh sepedanya ke bioskop yang berjarak empat kilometer.

Kegemaran itu tak lazim bagi seorang anak kiai yang tumbuh di kalangan orang tradisionalis. Namun, tiada yang tabu terkait film di mata Gus Dur. Semua didobraknya. “Karena itu, ia mencoba melakukan siasat yang sayangnya sangat mudah diterka orang. Apabila teman-temannya menonton memanggil dirinya dari luar kamar di rumah Kiai Junaidi, telah disepakati bahwa mereka harus berbicara keras mengenai keterlambatan menghadiri pertemuan Ansor, sayap pemuda Nahdlatul Ulama (NU).”

“Walaupun kemudian Gus Dur mengembangkan apresiasi yang serius mengenai film, namun pada tahap ini ia menonton apa saja yang dapat ditonton di Yogyakarta. Meski demikian, sebagai seorang remaja yang sangat menggandrungi film, apresiasi Gus Dur terhadap film jauh lebih serius daripada yang ditunjukkan oleh kebanyakan teman-teman sebayanya,” ungkap Greg Burton dalam buku Biofgrafi Gus Dur (2011).

Gus Dur atau Abdurrahman Wahid (Sumber: Perpusnas.go.id)

Nyatanya, kegemaran Gus Dur menonton film terus terbawa hingga ke Kairo, Mesir. Kala itu Gus Dur yang menimba ilmu di Universitas Al-Azhar serasa memiliki kebebasan baru. Ia tak perlu lagi bersiasat macam-macam untuk menonton film, seperti dahulu saat di Indonesia. Di Kairo, Gus Dur lebih memilih banyak belajar di luar ruang kelas, dibanding dalam kelas.

Gus Dur menyadari hampir seluruh mata kuliah yang diajarkan di Al-Azhar rata-rata telah dipelajari di pesantren di pelosok negeri. Ruang kampus dinilai tak terlalu menantang. Ruang belajar yang jadi kegemaran Gus Dur di Kairo berubah dari ruang kelas menjadi ruang Perpustakaan Kedutaan Besar Amerika di mesir dan bioskop.

Ia kemudian menyukai segala bentuk film, tak peduli dari mana asalnya. Ia suka film Rusia, Eropa Timur, dan tentu saja Prancis. Gus Dur sering kali melahap dua sampai tiga film sehari. Apalagi film Prancis. Gus Dur sangat menyukai film dari Negeri Mode itu. Film Prancis dipandangnya memiliki pola penceritaan dan sinematografi yang jujur dalam mengungkapkan sisi khas kemanusiaan. Beberapa diantaranya seperti kebencian, seks, hingga kelicikan.

“Saya mendapat cerita dari Gus Mus (Mustofa Bisri) tentang kegemaran Gus Dur membaca buku, komik, dan nonton film saat kuliah di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Gus Dur jarang masuk kuliah. Sebab, semua mata kuliah dí sana sudah pernah dipelajarinya saat ia di pesantren.”

“Oleh karena itu, ia lebih banyak mengunjungi Perpustakaan Kedutaan Amerika Serikat di Kairo. Di situ, ia memperoleh segudang pengetahuan, dan ia sangat menikmatinya. Bila malam tiba, Gus Dur pergi ke Atabah atau Lapangan Tahrir untuk nonton bioskop,” tulis Husein Muhammad dalam buku Samudra kezuhudan Gus Dur (2009).

Gus Dur main film dan jadi juri Festival Film Indonesia

Gus Dur atau Abdurrahman Wahid (Sumber: Perpusnas.go.id)

Gus Dur pernah jadi ketua dewan juri ajang penghargaan tertinggi perfilman Indonesia, Festival Film Indonesia (FFI) pada 1985. Dalam ajang penghargaan itu Gus Dur berkapasitas sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Terpilihnya Gus Dur sebagai juri kemudian memunculkan pro-kontra dari kalangan NU.

“Beberapa bulan kemudian, timbul gap antara Kiai As'ad dan Gus Dur. Mengapa? Karena Gus Dur dinilai nyeleneh dan dianggap ‘keluar’ dari nilai-nilai tradisi NU. Misalnya, Gus Dur memberikan ceramah di sidang Persatuan Gereja Indonesia (PGI) yang isinya dianggap membeberkan kelemahan umat Islam; assalamu 'alaikum bisa saja diganti selamat pagi, dan menjadi salah seorang juri FFI,” ujar Syamsul A. Hasan dalam buku Kharisma Kiai A’sad di Mata Umat (2003).

Kendati demikian, Gus Dur tak ambil pusing. Ia terus tampil “nyeleneh” dan membuat kejutan. Gus Dur terkenal aktif pula dalam pengkajian sastra, film, dan budaya di Ibu Kota Jakarta. Untuk itu, tiap kunjungannya ke pesantren-pesantren, masalah sastra, film, dan budaya sering menjadi ulasan utama. Termasuk saat dirinya menulis di media massa nasional. Analisisnya terkait film begitu tajam dan disukai.

Gerakannya yang “nyeleneh” menjadikan Gus Dur sebagai pemimpin langka yang tiada duanya. Ia istimewa. Keistimewaan itu dimunculkan pula saat Gus Dur menjadi orang nomor satu di Indonesia. Gus Dur ikut menjadi pemeran utama dalam film dokumenter bertajuk High Noon in Jakarta (2001).

Film karya sutradara Curtis Levy dan editornya Stewart Young menarasikan kisah keberanian Gus Dur dalam melawan politisi bandit. Penggarapannya dilakukan saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI keempat (1999-2001).

“Kemudian dilayar terpampang teks berbunyi High Noon in Jakarta. Apakah teks itu ada hubungan dengan sebuah film koboi dari Hollywood tahun 1950-an yang berjudul High Noon? Film itu bertutur tentang seorang sherif penegak hukum dan keamanan di sebuah kota kecil di Amerika Serikat abad lalu, yang diperankan aktor Gery Cooper didampingi oleh aktris Grace Kelly yang berperan sebagai istrinya. Sherif itu tidak takut menghadapi lawan-lawannya. Ia menunggu mereka untuk duel pistol. Ternyata Gus Dura mat menyukai film High Noon,” tulis Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 1 (2004).

Jalannya film High Noon in Jakarta memang memiliki kesamaan. Film itu banyak bercerita terkait pergolakan politik di Jakarta. Gus Dur kala itu menghadapi serangan dari segala sisi, dari DPR hingga elite partai politik. Tapi, Gus Dur berdiri sebagai pemimpin tengguh pemberani. Ia bagaikan seorang sheriff dalam film High Noon.

Ia membuktikan bahwa dirinya sebagai negarawan sejati. Alhasil, film tersebut semakin menguatkan citra seorang Gus Dur sebagai pecinta film sejati. Karenanya, paripurnalah keterlibatan Gus Dur di dunia film. Ia dapat menjelma menjadi penonton, kritikus, dan pemain film. Guna mengenang keterlibatannya di film High Noon in Jakarta, berikut celetukan kesohor yang paling diingat khalayak:

“Presiden pertama gila wanita, presiden kedua gila harta, presiden ketiga betul-betul gila, presiden keempat bikin tiap orang jadi gila.”