"Penyaluran kerja ini tentu memberikan manfaat langsung bagi pegawai yang bersangkutan, institusi kerja yang baru, juga bagi KPK sendiri untuk memperluas dan memperkuat simpul antikorupsi di berbagai institusi," tutur Cahya.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi nonaktif KPK Giri Suprapdiono juga merespons rekomendasi ini. Ia setuju tawaran ke BUMN ini bisa jadi peluang bagus untuk memerluas nilai antikorupsi. Namun, di tengah waktu yang tak tepat, rekomendasi ini malah tampak seperti penggembosan perjuangan para pegawai yang disingkirkan TWK.
"Menyalurkan pegawai TMS ke BUMN saat ini belumlah di waktu yang tepat karena pimpinan KPK punya PR panjang untuk tindak lanjut atas putusan MA, MK, Komnas HAM dan Ombudsman. Putusan dan rekomendasi lembaga tersebut yang harus dilakukan KPK terlebih dahulu. Salah satunya mengangkat 75 menjadi PNS sebelum tenggat waktu oktober 2021," kata Giri kepada VOI, Jumat, 17 September.
Lagipula menurut Giri KPK tak memiliki tugas apalagi kewenangan untuk menjanjikan apalagi menyalurkan pegawainya masuk BUMN. Apa yang dinyatakan KPK justri berpotensi menjadi isu trading influence alias jual-beli pengaruh, yang lagi-lagi bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.
"Menurut kami, yang paling tepat menyalurkan kami adalah Negara, dalam hal ini Presiden RI karena membawahi lembaga negara dan BUMN. Apabila kami dipandang dibutuhkan republik ini, saya meyakini keputusan negara akan lebih baik. Namun, cita cita kami adalah kembali bekerja di KPK, memberantas korupsi, membangun harapan kita menjadi negara maju dan sejahtera yang bersih," tutur Giri.
Katanya radikal tapi kok direkomendasikan ke BUMN?
Satu pertanyaan paling mendasar sekarang adalah jika para pegawai KPK itu radikal, kenapa KPK merekomendasikan para pegawai pindah ke BUMN? Paradoks ini juga disadari Giri. Paradoks yang dianggap Giri penghinaan. "Kalau kita melihat form yang mereka edarkan ada syarat permintaan pengunduran diri dan memohon kepada Pimpinan untuk menyalurkan."
"Di sisi lain mereka menyatakan kami tidak bisa dibina, tidak Pancasilais dan langsung dinon-jobkan. Ini penghinaan bagi kami," kata Giri.
Pertanyaan yang patut dijawab oleh KPK. Kita ingat pemecatan para pegawai ini bermula dari pelaksanaan TWK. Tes itu menyatakan ada 51 pegawai KPK --termasuk Novel dan giri-- tak lolos. Asesmen terhadap mereka menghasilkan rapor merah yang mengaitkan mereka dengan radikalisme, sikap tak Pancasilais, dan semacamnya.
Bukankah BUMN sudah lebih dulu terpapar isu radikalisme? Keriuhan radikalisme kemudian direspons BUMN dengan strategi 'bersih-bersih'. Pada 2019 lalu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Polisi Suhardi Alius menyinggung paparan radikalisme di tubuh BUMN.
Pernyataan Alius mengonfirmasi apa yang diungkap Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Mahfud bahkan saat itu memberikan data pegawai BUMN yang terpapar radikalisme ke Menteri BUMN Erick Thohir. Erick kemudian menyusun sejumlah strategi 'bersih-bersih' menanggulangi paparan radikalisme di BUMN.
Staf Khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga menjelaskan pihaknya telah memperbaharui proses rekrutmen. Kedua, dengan melaksanakan program AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif). Langkah ketiga, dijelaskan Arya adalah memerkuat kolaborasi dengan BNPT.
Sang Menteri BUMN hari ini menyampaikan sikap bahwa tak ada tempat untuk radikalisme apalagi terorisme di BUMN. Pernyataan ini disampaikan Erick sebagai respons penangkapan seorang karyawan PT Kimia Farma (Persero) Tbk berinisial S yang ditangkap Densus 88 Antiteror pada Jumat, 10 September lalu.