Andai Kita Bisa Hidup dengan Cara Gus Dur Melihat: Gitu Aja Kok Repot

JAKARTA - "Gitu aja kok repot!" Sebuah kalimat sederhana namun amat kuat. Kalimat itu melekat pada satu orang: Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Presiden keempat Republik Indonesia itu juga dikenal sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Benar, memang. Tak perlu repot bangsa ini jika setiap anaknya melihat dengan cara Gus Dur melihat.

Usia Gus Dur menginjak 81 tahun jika ia masih ada hari ini. Perbedaan yang kerap 'merepotkan' kehidupan bernegara hari ini mampu dipelihara Gus Dur dengan baik. Ia tak cuma baik dalam memandang perbedaan, tapi juga andal mengamalkan cara hidup dalam keberagaman. Di tengah maraknya konflik identitas hari ini, perbedaan yang harusnya jadi kekayaan dan kekuatan justru kerap disumbu menjadi sumber pertikaian.

Surya Adi Sahfutra menjelaskan gagasan pluralisme di kepala Gus Dur dalam jurnal Gagasan Pluralisme Agama Gus Dur untuk Kesetaraan dan Kerukunan. Dijelaskan, Gus Dur menekankan pluralisme pada pandangan keterbukaan untuk menemukan kebenaran di mana pun. Dan yang istimewa, pandangan itu harus teraktualisasi dalam tindak dan pemikiran.

Karena itulah Gus Dur jadi presiden yang paling diterima berbagai kelompok di Indonesia. Cara Gus Dur menjalin hubungan tanpa memandang eksklusivisme suku atau agama adalah keistimewaan luar biasa. Meski dikenal sebagai tokoh Muslim, Gus Dur dikenal sebagai figur yang mampu bersikap fleksibel dalam membangun hubungan sosial dengan tokoh-tokoh non-Muslim.

Ia bersahabat dengan banyak pastor, pendeta, macam-macam tokoh agama lain, baik dari Buddha, Hindu, bahkan Konghucu. Di mata Gus Dur, hubungan antarmanusia begitu penting. Ia adalah visioner yang paham betul, hari ini --selama Gus Dur hidup-- hingga hari-hari mendatang adalah era yang mengharuskan setiap orang menjalin interaksi dengan sesama.

Gus Dur (Sumber: Wikimedia Commons)

Garis perbedaan antar-umat beragama dan etnis harus dihapus. Mengutip Diskursus Pluralisme Agama, Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia karya Zainul Fuad, dijelaskan bagaimana Gus Dur juga sering mengutip ayat Alquran, yakni surah al Hujarat ayat 13 yang intinya adalah: Sesungguhnya perbedaan manusia adalah kehendak Allah untuk saling mengenal satu sama lain.

Dengan segala landasan pikiran itu, Gus Dur begitu sensitif pada nasib minoritas. Salah satu golongan minoritas yang paing merasakan keadilan Gus Dur adalah kelompok Tionghoa. Menelisik dari kebijakan Orde Baru, terdapat kebijakan asimilasi menyeluruh. Saat itu Presiden Soeharto sendiri menyatakan bahwa warga negara Indonesia keturunan China harus segera berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia.

Sayang, praktik Soeharto beda dengan teori. Asimilasi seringkali berjalan bertentangan, bahkan terasa cenderung anti-asimilasi dalam penerapan kebijakan. Di bawah Soeharto, alih-alih asimilasi, yang terjadi justru dilakukannya pemilahan. Bukannya persatuan etnis Tionghoa dan orang Indonesia atau satu agama dengan agama lain, kebijakan itu justru memisahkan kelompok-kelompok menjadi berbagai komunitas. Eksklusivitas gagal dicairkan.

Ubah kehidupan Tionghoa

Pada 17 Januari 2000, Gus Dur mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Inpres tersebut memerintahkan agar perayaan pesta agama atau adat istiadat etnis Tionghoa dilakukan dalam lingkungan keluarga dan tidak mencolok di depan umum.

Setelah Inpres tersebut dicabut, etnis Tionghoa dapat merayakan Imlek secara meriah dan terbuka. Imlek baru dijadikan sebagai hari libur nasional pada 2003 di bawah pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Saat mencabut Inpres tersebut, Gus Dur menekankan bahwa etnis Tioghoa di Indonesia merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu, mereka juga memiliki hak yang sama dengan warga Indonesia umumnya.

"Mereka adalah orang Indonesia. Tidak boleh dikucilkan, hanya diberi satu tempat saja. Kalau ada yang mencerca mereka tidak aktif di masyarakat, itu karena tidak diberi kesempatan," kata Gus Dur. 

"Cara terbaik, bangsa kita harus membuka semua pintu kehidupan bagi bangsa Tionghoa sehingga mereka bisa dituntut sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia," tambahnya.

Mendukung Papua

Gus Dur (Sumber: nu.or.id)

Tak hanya etnis Tionghoa. Gus Dur juga memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Papua. Setelah dua bulan sepuluh hari dilantik sebagai presiden, Gus Dur mengunjungi Irian Jaya, yang kini telah menjadi Papua. Saat itu Gus Dur hendak berdialog dengan masyarakat Irian Jaya. 

Semua keluh kesah masyarakat kala itu diterima Gus Dur. Bahkan keinginan warga Irian Jaya untuk merdeka dari Indonesia. Setelah dialog tersebut, Gus Dur akhirnya mengembalikan nama Irian Jaya menjadi Papua. Selama Orde Baru, nama Papua tabu karena identik dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Gus Dur terus memberikan dukungannya untuk masyarakat Papua. Ketika Kongres Rakyat Papua II diprotes, Gus Dur menjadi garda terdepan mendukung gelaran tersebut tetap diadakan. Gus Dur bahkan membantu dengan memberikan bantuan pendanaan.

Kebijakan lain yang dianggap tak lazim oleh banyak orang saat itu adalah ketika Gus Dur mengizinkan bendera bintang kejora dikibarkan di tanah Papua. Meski hanya boleh dikibarkan di bawah bendera merah putih, kebijakan Gus Dur tetap kontroversi. Bagi banyak orang kala itu, bendera bintang kejora adalah lambang separatisme. Namun, Gus Dur punya pandangan lain. Ia tegas menyebut bendera bintang kejora sebagai lambang kultural.

Dikutip dari Tirto, Ketua Umum Dewan Adat Papua kala itu, Forkorus Yaboisembut mengatakan bahwa Gus Dur adalah satu-satunya presiden Indonesia yang secara terbuka mengakui kembali masyarakat Papua sebagai bangsa. “Ia tidak hanya membuka dan membangun ruang-ruang demokrasi, menghadirkan rasa aman dan nyaman, tetapi juga mengakui harkat dan martabat kami rakyat Papua,” kata Forkorus, dikutip dari buku suntingan Irwan Suhanda.

Kepemimpinan Gus Dur yang singkat, 22 bulan, memberi dampak besar bagi etnis Tionghoa dan masyarakat Papua hingga saat ini. Gus Dur mengimplementasikan ajaran yang Islami dengan mengutamakan martabat, persamaan status manusia di depan hukum, dan solidaritas antar-umat manusia.

Bukan hanya untuk kaum minoritas. Gus Dur adalah pembelajaran bagi seluruh masyarakat yang berdemokrasi. Bahwa demokrasi adalah pilar penyangga yang memberikan hak setara bagi setiap insan.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.

MEMORI Lainnya