Ali Sadikin ke Jakarta untuk Menata Kota Bukan Menata Kata
JAKARTA - Sebagai Gubernur DKI Jakarta (1966-1977), Ali Sadikin tak saja membangun Jakarta, tapi turut memperbaiki nasib warganya. Sosok keras kepala itu mampu menata Jakarta dari the big village jadi metropolitan. Ali Sadikin membangun banyak fasilitas umum, terutama sekolah. Jakarta harus dikagumi dunia, katanya. Kerja kerasnya berhasil. Segenap orang memahami: Jakarta memiliki pemimpin, bukan pejabat.
Sudah rahasia umum bahwa Presiden RI pertama, Soekarno dalam tiap kedatangan tamu kenegaraan lebih memilih lekas meninggalkan Jakarta. Upaya itu tak dilakukan Soekarno satu dua kali. Tapi, berkali-kali. Usut punya usut, Bung Karno nyatanya kurang menyukai tata kota Jakarta. Menurutnya Jakarta terlalu kumuh dan tak memiliki jiwa saing dengan ibu kota negara tetangga.
Padahal Bung Karno berharap Jakarta memiliki physical face yang waadig --wajah penampilan yang berharga-- bagi bangsa dengan 105 juta penduduk. Ia memiliki alasan. Banyak di antara jalanan Jakarta berlubang dan pemukiman kumuh. Belum lagi perkara Jakarta yang kekurangan air bersih, listrik, angkutan umum, sekolah, perumahan, fasilitas hiburan, dan tentu saja uang.
Dalam masa itu Bung Karno bersikeras mencari ‘arsitek’ yang tepat untuk membangun Jakarta. Bawahannya kemudian menyodorkan tiga nama jenderal. Semuanya ditolak. Bung Karno menegaskan kembali yang dicarinya untuk Jakarta adalah orang yang tegas, berani, keras kepala. Kemudian, muncul nama Ali Sadikin.
“Sifat koppig (keras kepala) itu pula yang menyebabkan Presiden Soekarno menjadikan Ali Sadikin Gubernur DKI Jakarta. Beberapa calon diajukan. Semua ditolak. Sampai Waperdam Dr. Leimena berkata: ada Ali Sadikin, tapi dia orang keras kepala. Bung Karno berkata, justru untuk mengurus Jakarta diperlukan een beetje koppigheid, sedikit kepala batu."
"Maka, Ali Sadikin tanggal 28 April 1966 dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam pakaian seragam Mayor Jenderal Korps Komando (KKO) Angkatan Laut serba putih, sebab ia masih dalam dinas aktif ABRI,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia jilid 3 (2009).
Bagi Bung Karno, Ali Sadikin bukan orang baru. Ia sudah mengenal Ali Sadikin jauh-jauh hari. Dalam istilah Rosihan Anwar, Ali Sadikin adalah insan yang berbuat: a doer. Bukan orang yang suka mengumbar kata: a talker.
Terutama saat Ali Sadkin ditunjuk Bung Karno menjadi Menteri Koordinator (Menko) Pelayaran. Prestasi demi prestasi didapatkan Ali Sadikin saat memangku jabatan menteri, termasuk kala pria berjuluk Kennedy dari Timur dielu-elukan sebagai bapak pelayaran nasional oleh banyak orang. Sederet prestasi itu menambah kepercayaan diri Soekarno jika suatu saat nanti Jakarta dapat berubah, bergegas di tangan Ali Sadikin.
Sekalipun perubahan Jabatan dari menteri ke gubernur adalah degradasi, Ali Sadikin tak ambil pusing. Selama itu perintah, Impian Bung Karno dijadikan Ali Sadikin sebagai pegangan dalam berbuat lebih untuk Jakarta. Soekarno menginginkan Jakarta dapat menjadi kebanggaan Indonesia, bahkan dunia.
Sebagaimana biasanya, Bung Karno tak lupa mengutip suatu peribahasa Een natie left niet van brood alleen (satu bangsa tidak cuma hidup dari roti). Artinya, bangsa yang besar tak cuma dapat menghidupi rakyatnya saja. Perihal itu masyarakat hari ini bisa kenyang, lalu besok bisa lapar lagi. Tapi, upaya mengubah wajah Jakarta dapat bersifat abadi. Dikenang sepanjang masa.
“Cita-citaku mengenai kota Jakarta ini akan saya supplant kepadamu, seperti saya iris, saya masukkan di dalam kalbumu, Ali Sadikin. Itu bukan pekerjaan yang gampang memenuhi cita-cita, cita-cita yang besar. Tetapi Insya Allah SWT, doe je best (berusahalah dengan sebaik-baiknya), agar supaya engkau dalam memegang kegubernuran Jakarta Raya ini benar-benar juga sekian tahun lagi masih orang mengingat, dit heft Ali Sadikin Gedaan, inilah perbuatan Ali Sadikin. Inilah yang dilakukan oleh Ali Sadikin. Bismillah, mulailah engkau punya pekerjaan,” ucap Soekarno kenang Ali Sadikin seperti ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
Menata Jakarta
Sejak menjabat Gubernur DKI Jakarta sejak awal April 1966, Ali Sadikin langsung tancap gas memahami setiap detail persoalan Ibu Kota. Ia ingin Jakarta dibangun dalam satu komando Rencana Induk Pembangunan Jakarta. Karenanya, enam bulan pertama berat badan Ali Sadikin turun hingga 6 kilogram. Ia kemudian menjelajah Ibu Kota siang dan malam, kena hujan dan panas, dalam rangka melihat langsung problema Jakarta.
Tak seperti politikus pada umumnya, penjelajahan yang dilakukan Ali Sadikin adalah secara incognito atau menyamar. Ali Sadikin pun melihat langsung bagaimana kumuhnya kampung-kampung di Jakarta beserta masalahnya. Ia merasakan juga kesedihan kala anak-anak sekolah tanpa sepatu, anak putus sekolah, kurangnya gedung sekolah, ruwetnya transportasi hingga melihat warga berebut air bersih.
Alhasil, Ali Sadikin banyak mendengarkan langsung kekecewaan warga kepada pemerintah DKI Jakarta. Buahnya, banyak program yang lahir dari pengamatan Ali Sadikin. Yang paling dikenang adalah proyek perbaikan kampung Muhammad Husni Thamrin (MTH).
“Ketika baru diangkat menjadi gubernur, dua hari saya keliling Jakarta naik bus kota. Hujan-hujan saya ikut berdesak-desakan dengan penumpang bus. Di situ baru saya tahu betapa runyamnya masalah transportasi ini. Dulu, kan tidak ada sistem. Dari melihat inilah kemudian lahir shelter-shelter, terminal bus. Soalnya dulu, kalau antre menunggu bus, masyarakat kepanasan dan kehujanan,” jawab Ali Sadikin dikutip Ramadhan K.H dalam buku lainnya Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab (1995).
Oleh sebab itu, pekerjaan menjadi Gubernur DKI Jakarta menjadi yang paling disyukuri sepanjang karier Ali Sadikin. Semua itu karena rencana dan cita-cita Ali Sadikin untuk berbakti kepada negara dapat langsung diwujudkan. Kalau menjadi menteri, rencana yang dicanangkan Ali Sadikin belum bisa diwujudkan langsung. Kendala seperti dana dari pusat belum turun jadi biang keladinya. Saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, persoalan itu tak ia temui.
Setiap punya rencana, dana bisa dicari sendiri, sekalipun harus dengan cara kontroversial melegalkan perjudian dan prostitusi. Dampaknya bisa langsung dirasakan. Ali Sadikin sepanjang 38 bulan menjabat telah mampu mendirikan 200 gedung sekolah. Jumlah itu lebih banyak dibanding sekolah yang didirikan selama 20 tahun sebelumnya. Ali Sadikin pun peduli dengan pegawai pemerintah DKI Jakarta.
Gaji mereka turut dinaikkan dan uang pensiunnya ditambah dua kali lebih besar. Bersamaan dengan itu, fasilitas penunjang untuk menjadikan Jakarta sebagai kebanggaan rakyat Indonesia turut dibangun. Ia membangun perumahan, perkantoran dan fasilitas lainnya. Semuanya dibangun sesuai Rencana Induk Pembangunan Jakarta. Tujuan supaya Jakarta lebih tertata dan lalu lintas antarkota tidak sampai menimbulkan kemacetan.
“Saya coba susun sebuah daftar (prestasi Ali Sadikin) dari luar kepala: Jalan H.R. Rasuna Said, Jalan Casablanca, Taman Ismail Marzuki, sejumlah gelanggang remaja, taman hiburan di Pantai Ancol, sebuah pusat perfilman, Museum Tekstil, Museum Wayang, Museum Seni Rupa, stasiun bus kota, halte, lampu-lampu lalu lintas, taksi, taman-taman kecil,kampung-kampung yang dihubungkan dengan jalan yang rapi. Mereka yang lahir atau datang terlambat di kota ini tak akan merasakan proses yang menakjubkan dari ‘tak-ada’ menjadi ‘ada’ itu,” tutup Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Aladin (2008).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.