Ramai-ramai Pejabat Kena Prank Sumbangan Rp2 Triliun: Bukti Kalau Pemimpin Kita Tak Kebal Hoaks

JAKARTA - Kabar sumbangan dana penanggulangan COVID-19 Rp2 triliun dari ahli waris seorang pengusaha Akidi Tio berujung kasus dugaan hoaks. Mungkin bisa dibilang hampir seluruh warga Indonesia kena prank. Tak terkecuali para pejabat negara. Lantas mengapa bahkan pemimpin sekelas Kapolda dan Gubernur tak bisa terhindar dari hoaks?

Siang tadi, 2 Agustus, tim Polda Sumatera Selatan menangkap Heriyanti, salah seorang anak pemberi dana hibah Rp2 triliun atas nama Akidi Tio. Heriyati diperiksa atas dugaan hoaks bantuan penanganan COVID-19. 

Sebelumnya, keluarga pengusaha asal Aceh, Akidi Tio (Alm) melalui Heriyanti menyumbang uang tunai senilai Rp2 triliun ke Provinsi Sumatera Selatan untuk membantu penanganan COVID-19 di daerah tersebut, Senin, 26 Juli. Namun itu masih sebatas simbolis. 

Usut punya usut, uang sumbangan Akidi Tio itu masih belum cair, dan kabarnya baru akan cair hari ini. Tapi takdir berkata lain. Sumbangan yang disebut terbanyak kedua setelah Bill Gates itu nampaknya hanya angan-angan Heriyanti belaka. 

Mirisnya, penyerahan dana bantuan secara simbolis di Mapolda Sumsel itu juga dihadiri Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, Kapolda Sumsel Irjen Pol Eko Indra Heri, Kepala Dinas Kesehatan Sumsel Lesty Nuraini dan Danrem 044/Gapo Brigjen TNI Jauhari Agus Suraji. 

Penyerahan simbolis bantuan keluarga pengusaha Akidi Tio lewat Polda Sumsel (DOK Polri)

Menggemparkan publik

Kabar pemberian dana hibah ini memang menggemparkan publik. Tak terkecuali Dokter Keluarga Akidi Tio yang ditunjuk untuk memfasilitasi pemberian dana hibah, Hardi Darmawan. Dalam wawancaranya di YouTube Helmy Yahya Bicara, Hardi mengaku sempat terkejut ketika Heriyanti ingin berdonasi dengan jumlah fantastis. 

"Dua hari sebelum tanggal 26 itu saya ditelpon anaknya (Akidi Tio). Saya biasa ditelfon untuk berobat. Tapi kali ini tidak. Mereka mau memberi bantuan katanya. Saya terkejut. Bantuan apa? bantuan penanggulangan COVID-19," kata Hardi.

Selain itu, Hardi juga mengatakan sempat merasa salah dengan mendengar jumlah uang yang akan didonasikan. "Saya tanya seberapa besar mau membantu? Rp2 triliun katanya. Saya terkejut. Belom pernah ada orang nyumbang 2T. Hah? Apa saya salah dengar?" 

Hardi menceritakan alasan Heriyanti mau mendonasikan uangnya untuk penanganan COVID-19. Kata Hardi, dia sedih melihat banyak orang kesulitan mencari rumah sakit, obat, dan oksigen. 

"Katanya dia melihat banyak kawannya mencari rumah sakit kesulitan, ada yang masuk juga meninggal. Ada yang mencari obat. Ada yang cari oksigen. Jadi dia mau hibah. Ia teringat pesan bapaknya Akidi Tio. Bahwa dia harus membantu orang susah," kata Hardi.

Selain itu, Hardi menjelaskan alasan mengapa Heriyanti memberikan dana hibah itu kepada Kapolda Sumsel Irjen Pol Eko Indra Heri. Menurut penuturannya, Heriyanti sengaja memberikan sumbangannya lewat Irjen Pol Eko lantaran sudah bersahabat sejak lama. Bahkan keluarga Akidi Tio mengenal orang tua Irjen Pol Eko. 

"Terus dia sebut nama, Irjen Eko Indra Heri, Kapolda Sumsel. Kenapa harus ke Pak Eko? Mereka sudah kenal akrab katanya dari dulu. Bahkan sampai ke orang tuanya kenal. Oh begitu, saya baru mengerti kenapa ditujukan begitu," ujar Hardi.  

Dan menurut Hardi, ketika ia menyampaikan kabar tersebut kepada Kapolda Sumsel dan Kadinkes, mereka mengaku sama-sama terkejut. "Jadi waktu saya sampaikan ke Pak Eko dia juga kaget gemeter katanya. Lemes. Saya sampaikan ke kadinkes juga sama, begeter juga dia enggak pernah denger uang segitu."

Keraguan yang valid

Sebelum kasus penangkapan Heriyanti terjadi, Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Hamid Awaludin menyangsikan kebenaran sumbangan yang menggemparkan hampir seluruh Indonesia tersebut. Dalam tulisannya di Kompas, Hamid menyangsikan akal waras bangsa kita khususnya para pejabat di negeri ini. 

"Saya tidak memberi rasa kagum, apalagi pujian. Saya malah kian sangsi mengenai akal waras kita semua. Saya kian teguh bahwa para pejabat di negeri ini sama sekali belum belajar dari berbagai kejadian masa lalu," tulis Hamid. 

Mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin (Sumber: essa.id)

Beberapa kejadian serupa memang pernah terjadi bahkan sejak era Presiden Soekarno. Saat itu Bung Karno pernah menerima sepasang suami istri di Istana negara yang mengklaim sebagai raja dan ratu dari suku Anak Dalam di Jambi. Namun belakangan ternyata kedua orang itu adalah pengayuh becak dan sang istri adalah pelacur kelas bawah. 

Kemudian di era Presiden Megawati Soekarnoputri, kita pernah dikagetkan oleh Menteri Agama Said Agil Husin Al-Munawar. Ia mengklaim bahwa ada harta karun besar yang bisa dipakai untuk melunasi seluruh utang negara. 

Namun Menteri Agama akhirnya "disadarkan" oleh Menko Kesra ketika itu, Jusuf Kalla. Sebab tak mungkin harta karun yang kabarnya tersimpan di bawah Prasasti Batutulis, Bogor, bisa melunasi utang luar negeri yang pada awal tahun 2000 jumlahnya kurang lebih Rp1.500 triliun.

Dan hari ini, keraguan Hamid soal donasi Rp2 triliun dikonfirmasi oleh institusi penerima dana hibah itu sendiri Polda Sumsel. Tim polisi setempat menangkap Heriyanti atas dugaan kasus hoaks. Lantas mengapa sekelas pejabat tinggi negara juga tak bisa kebal dari hoaks? 

Karma sosial

Untuk menjawab itu kami menghubungi Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansyah. Tantan bilang kenapa pejabat tinggi juga bisa kena prank, adalah karena banyak orang mudah tergiur dengan jumlah harta yang fantastis meski tak masuk akal. 

"Jika kemudian kenapa pejabat tinggi bisa kena prank juga, sederhananya sih, mungkin itu karma sosial saja. Mungkin. Karena orang banyak dan gampang tergiur dengan jumlah fantastis meski gak masuk akal," kata Tantan kepada VOI

Sosiolog Prancis, Jean Baudrillard sebagaimana dikutip Tantan pernah bilang: "tidak ada lagi fiksi yang dapat dibedakan dengan kenyataan". Dan menurut Tantan apa yang Baudrillard katakan itu mengonfirmasi bahwa saat ini manusia modern tengah terjebak pada kegagapan memosisikan diri dalam realitas fiksi atau nyata. 

"Mungkin karena drama dalam politik dan kebijakan demikian heboh, maka harus diimbangkan oleh kehebohan lain, yakni prank," ujar Tantan. 

Tantan bilang, prank ini tak akan terjadi bila kemasannya tidak canggih. Apalagi kata dia, bangsa ini memang doyan hiburan. "Jadi peristiwa prank itu harus dilihat bahwa ada orang yang mau jadi pemain karena penontonnya sangat banyak."

"Menjadi pemain, jika berhasil, maka akan mendulang kesuksesan. Kesuksesan itu bisa positif atau negatif," kata Tantan. 

*Baca informasi lain tentang HOAKS atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya