Pola Pencitraan Soeharto

JAKARTA - Soeharto adalah ahli mengemas citra. Sejak awal karier hingga di puncak kepemimpinannya, Sorharto terus membangun pencitraannya.

Sebagai anak petani, Soeharto telah membuktikan jelata dapat menjadi orang nomor satu di Indonesia. Citra positif itu dikemas pula dengan figurnya yang sedikit bicara, banyak bertindak.

Lebih lagi, Soeharto menghalalkan segala cara demi merawat citra postif lainnya, dari pembredelan dan kontrol media. Pencitraannya berhasil. Ia langgeng dikenang dengan banyak julukan Bapak Pembangunan, Bapak Swasembada hingga Pahlawan penumpas G30S.

Sehari-hari, Sang Arsitek Orde Baru (Orba) itu senang menggambar dirinya sebagai anak petani dari Desa Kemusuk, Godean, Yogyakarta. Citra ambisius dari seorang anak petani yang kemudian menjadi orang nomor satu di Indonesia begitu menginspirasi anak-anak Indonesia pada zamannya.

Riwayat hidup Seoharto sering pula dikisahkan oleh guru-guru di bangku sekolahan seluruh Indonesia. Dalam masa itu Soeharto tak saja menjadi simbol keberhasilan anak petani, tapi juga menjelma jadi sosok pemimpin, teladan dan pahlawan negeri.

Tak heran. Setiap Soeharto melangsungkan kunjungan ke desa, ia selalu mendapatkan sambutan yang luar biasa meriah. Apalagi ketika Soeharto menyapa satu demi satu mereka yang berada di kerumunan, seperti petani, anak sekolah, hingga pejabat setempat.

Jenderal Soeharto (Sumber: Commons Wikimedia)

Soeharto tampak paham dirinya adalah pemimpin yang selalu didengar. Tutur katanya diatur sedemikian rupa sehingga mencitrakan Soeharto sebagai pemimpin yang banyak tahu, pintar, dan benar. Pun dalam persoalan agama. Soeharto dikenal sebagai figur beriman sedari kecil.

“Di sore hari, Soeharto mengaji, belajar membaca kitab suci Alquran. Ini adalah pelajaran yang diwajibkan bagi setiap anak. Pengajian Alquran dilakukan di langgar. Sering ia berada di langgar sampai-sampai jam delapan malam, dan sesudah selesai sembahyang Isya beramai-ramai barulah dia pulang ke rumahnya, dan kadang-kadang semalam suntuk mereka bersa di langgar,” tulis OG Roeder dalam buku Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1976).

Sosok yang tanpa cacat itu pun mulai diidolakan oleh mahasiswa angkatan 66. Dukungan mahasiswa mengalir kuat ke Jenderal Soeharto ketika demonstrasi besar-besaran terjadi Jakarta.

Mahasiswa yang menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), rombak kabinet, turunkan harga, yang dikenal sebagai Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) berhasil ditenangkan oleh Soeharto. Upaya itu dilakukan Soeharto saat aksi demontrasi di Istana Negara yang mulai ricuh.

Berkat kehadiran Soeharto, mahasiswa-mahasiswa dapat tenang. Mereka kemudian melihat Soeharto sebagai harapan. Bahkan salah satu mahasiswa Angkatan 66 yakni Arief Budiman, kakak Soe Hok Gie mengatakan, "Kami tahu dia (Soeharto) tentara yang tidak senang politik."

“Soeharto, anak petani Desa Kemusuk, Yogyakarta, itu muncul dari balik kabut pada 1966. Dia datang sebagai Semar--tokoh punakawan dalam dunia wayang yang kepadanya Soeharto sering dinisbahkan: sederhana dan murah senyum. Seperti Semar, Soeharto melakukan hal yang bahkan tak bisa ditunaikan oleh para ksatria ketika datang masa-masa kritis."

"Dia dielu-elukan sebagai pahlawan yang sukses menyelamatkan Indonesia dari bencana komunisme meski dengan banjir darah besar sebagai ongkosnya. Juga dari bencana ekonomi akibat hiperinflasi,” tulis Farid Gaban dkk dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Antara Semar dan Don Corleone (1998).

Soeharto merawat citra

Soeharto (Sumber: Wikimedia Commons)

Seiring dengan mempertahankan kuasanya, The Smiling General pun amat piawai dalam merawat citra-citranya. Pencitraan itu mulai dikuatkan Soeharto lewat berbagai upaya dan kebijakan. Lewat mata pelajaran di bangku sekolahan, misalnya.

Melalui mata pelajaran sejarah dan perjuangan atau pendidikan moral Pancasila, peran Soeharto disebutkan begitu mononjol. Ia juga dianggap aktor yang memegang kunci dalam rangkaian perjuangan dari Serangan Umum Sebelas Maret di Yogyakarta hingga penumpasan PKI dan antek-anteknya.

Soeharto disebut-sebut pula sebagai pembela Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu peran-peran Soekarno, Mohammad Hatta dan tokoh-tokoh lainnya kurang ditonjolkan dalam berbagai hal.

Terutama, penulisan sejarah yang disponsori pemerintah meliputi sejarah populer, lisan, dan lain sebagainya. Bahkan, tokoh-tokoh itu terkesan sebagai pelengkap dalam sejarah perjuangan bangsa. Upaya itu seakan-akan mengamini narasi sejarah memang ditulis oleh pemenang.

Tak hanya itu. Soeharto turut mengontrol media untuk melanggengkan citra positifnya. Entah itu dalam program radio, televisi, hingga surat kabar. Adapun yang menolak atau menarasikan buruknya Soeharto, maka pemerintah Orba tak segan-segan melakukan penindakan tegas.

Lantaran itu untuk mengontrol media pemerintah Orba melakukan sensor ketat. Langkah itu memungkinkan pemerintahan Orba lebih leluasa mengisi muatan-muatan yang sesuai dengan citra positif Soeharto dan pemerintahannya.

Soeharto, Habibie, dan Harmoko (Sumber: Wikimedia Commons)

“Program-program TVRI, yang waktu itu menjadi satu-satunya, jelas menjadi corong efektif bagi penyebaran dan sosialisasi kebijakan-kebijakan pemerintah. Bukan saja dalam hal penayangan film-film kepahlawanan Soeharto seperti Serangan Umum Sebelas Maret dan G30S 1965.

"Tetapi juga acara-acara klompencapir, liputan kegiatan Soeharto dan keluarganya yang begitu luas, mendalam dan monoton. Semua itu, sekali lagi memperkokoh citra heroisme Soeharto yang menjelma setara dengan Negara itu sendiri,” ujar FX Baskara Tulus Wardana dalam buku Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto (2007).

Demi melegitimasi citranya, Soeharto sampai memanfaatkan Pancasila untuk mengancam lawan politik pada 1980. Upaya menyebar ketakutan itu juga muncul pada pembukaan Rapat Pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Pekanbaru, Riau pada 27 Maret 1980.

Kemudian, narasi yang lebih personal disampaikan oleh Soeharto dalam pidato tanpa teks pada peringatan hari jadi ke-28 Komando Pasukan Sandhi Yudha --sekarang Korps Pasukan Khusus-- di Cijantung, Jakarta, 17 April 1980.

"Daripada kita menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, lebih baik kami menculik seorang dari pada dua pertiga (anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang ingin mengadakan perubahan," ucap Soeharto dalam pidatonya.

*Baca Informasi lain soal SOEHARTO atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada

MEMORI Lainnya