Kasus COVID-19 Senin Tembus 14.536, Ekonom Minta Pemerintah Segera Lockdown Nasional: Ikuti Saran Ahli Kesehatan!
JAKARTA - Kasus COVID-19 di Tanah Air terus mengalami penambahan. Bahkan dalam waktu 24 jam kasus baru tercatat bertambah 14.536. Karena itu, ekonom meminta agar pemerintah menyelesaikan masalah pandemi COVID-19 dengan mengikuti saran dari ahli kesehatan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia harus segera melakukan lockdown nasional untuk memutus penyebaran COVID-19. Meskipun terlambat, akan lebih baik dibanding tidak sama sekali.
Pemerintah, kata Bhima, juga sering mengadu narasi antara pilihan kesehatan dan ekonomi. Padahal itu hanya "coba-coba" pelonggaran untuk pemulihan ekonomi. Misalnya saja seperti pembukaan tempat wisata secara prematur yang justru menjadi blunder bagi ekonomi sendiri.
Karena itu, menurut Bhima, sebaiknya pemerintah segera memutuskan untuk lockdown nasional. Sebab, tidak akan efektif jika hanya diterapkan di satu provinsi.
"Pemerintah harus mendengar saran dari ahli kesehatan. Sekali lockdown efektif maka ekonomi akan tumbuh solid, tidak semu seperti sekarang," katanya saat dihubungi VOI, Senin, 21 Juni.
Menurut Bhima, saat ini seakan tingkat kepercayaan konsumen naik, tapi setelah ledakan kasus COVID-19 berisiko turun lagi. Karena itu, menurut Bhima, yang harus menjadi fokus pemerintah saat ini adalah belanja kesehatan dan perlindungan sosial.
"Kita jangan sampai mengulang lagi di titik nol. Saya yakin pelaku usaha mau men-support lockdown dengan catatan ada kompensasi yang layak dari pemerintah dan efektif pengawasan di lapangan atau tidak ada diskriminatif," ucapnya.
Lebih lanjut, Bhima mengatakan, kompensasi itu muncul apabila anggaran pemerintah bisa direalokasikan segera. Karena, sudah ada modal UU Nomor 2 Tahun 2020 untuk geser anggaran secara cepat.
Sebelumya, Ekonom Senior Faisal Basri meminta pemerintah untuk tidak lagi melakukan gas dan rem dalam pengendalian kasus aktif COVID-19. Saat ini, kata dia, yang perlu dilakukan adalah menginjak pedal rem atau lockdown.
Menurut Faisal, seharusnya sebelum kasus menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, pemerintah mengambil langkah melakukan lockdown di DKI Jakarta, yang saat itu menjadi episentrum penyebaran COVID-19.
Baca juga:
- Ikuti Saran Jokowi Soal Ibu Hamil Hingga Balita Positif COVID-19, Airlangga: Ditangani BKKBN
- Airlangga: Tempat Wisata hingga Kegiatan Seni Budaya di Zona Merah Ditutup
- Faisal Basri Kritik Program Work From Bali yang Dicanangkan Luhut dan Sandiaga Uno: Kasihan Orang Sana, Kita Bawa Virusnya
- Kang Emil Bawa Kabar Buruk, Varian COVID Delta Sudah Hadir di Depok dan Karawang
Lebih lanjut, Faisal mengatakan jika persoalan pandemi diselesaikan dengan pendekatan ilmu kesehatan, ongkos pemulihan yang ditanggung negara akan lebih murah ketimbang saat ini. Sementara, menurut Faisal, logika pemerintah justru masih terbalik.
Meski begitu, kata Faisal, Indonesia belum terlambat untuk menangani krisis ini. Seperti negara-negara lain, Indonesia bisa melakukan kebijakan lockdown selama dua pekan agar angka kasus positif COVID-19 yang melonjak pasca Idulfitri 2021 bisa ditekan.
"Saya rasa ayo, kita belum terlambat untuk kembali ke relnya, Pak Presiden tolong jangan lagi bicara rem, gas, rem, gas. Rem yang paling ampuh sekarang ya lockdown. Tapi tidak akan dilakukan. Jadi sebetulnya bukan rem gas, rem gas tapi sebenarnya gas gas ekonomi," ujarnya dalam diskusi virtual, Minggu, 20 Juni.
Terkait kebutuhan anggaran selama kebijakan penanganan kesehatan, kata Faisal, menteri-menteri ekonomi lah yang bertugas memikirkannya. Sebab, menteri bidang ekonomi memang bertugas untuk mencari dana.
"Urusan menteri-menteri ekonomi adalah mencari uang, kalau perlu mencari utang untuk menyelesaikan ini semua. Karena utang ini akan cepat dibayar kalau recovery-nya cepat terjadi. Jadi percayalah bahwa ongkos akan semakin mahal kalau krisis kesehatannya tidak diselesaikan secara tuntas," tuturnya.