Watak Elitis Pembuat Kebijakan dalam Rencana Pembongkaran Jalur Sepeda Sudirman
JAKARTA - Rapat kerja Komisi III DPR RI bersama Polri melahirkan keputusan soal nasib jalur sepeda permanen di Jalan Sudirman-Thamrin. Dua pihak sepakat melakukan pembongkaran. Lagi, kita melihat bagaimana pembuat kebijakan negeri ini beraksi dalam bingkai watak elitis mereka. Adakah kajian ilmiah yang melandasi keputusan ini?
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, dalam kesempatan itu meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk mengkaji ulang keberadaan jalur sepeda permanen di Sudirman-Thamrin. Kata Sahroni jalur sepeda permanen meningkatkan kerawanan kecelakaan dan menyulitkan kendaraan lain, terutama di tengah lalu lintas yang padat.
"Mohon kiranya Pak Kapolri dengan jajarannya, terutama ada Korlantas di sini untuk menyikapi jalur permanen dikaji ulang. Bila perlu dibongkar dan semua pelaku jalan bisa menggunakan jalan tersebut," tutur Sahroni di Gedung Parlemen, Senayan, Rabu, 16 Juni.
Selain itu Sahroni berujar tentang diskriminasi di antara komunitas sepeda. Ungkapan Sahroni merujuk pada gesekan yang terjadi di masa ujicoba jalur sepeda khusus road bike di Jalan Layang Nontol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang dan Sudirman-Thamrin beberapa hari lalu.
Listyo setuju. Polisi bakal berkoordinasi dengan Pemprov DKI soal keputusan ini. Listyo juga berencana studi banding ke negara tetangga untuk melihat bagaimana pengaturan perihal rute sepeda, baik komuter maupun olahraga. "Kami akan terus mencari formula yang pas. Kami setuju masalah yang permanen dibongkar saja," kata Listyo.
"Pengaturan ruas wilayahnya daerah mana saja ini akan kami koordinasikan dengan Kemenhub, dengan Pemda DKI. Para Kapolda di seluruh wilayah juga melakukan hal yang sama, sehingga kemudian jalur sepeda bagi masyarakat tetap ada."
Listyo juga menyebut tentang pembatasan jam. Menurut Listyo pembatasan diberlakukan agar keberadaan sepeda tidak "mengganggu para peguna dan moda-moda lain yang memanfaatkan jalur tersebut."
Sementara, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyatakan Pemprov DKI bakal mengkaji terlebih dahulu rencana itu. Riza mengatakan pada prinsipna Pemprov DKI ingin memberi fasilitas terbaik bagi semua pihak, baik pejalan kaki, pesepeda, pengguna kendaraan bermotor, hingga kendaraan umum.
"Kita akan berikan pelayanan terbaik kebijakan yang diambil pasti mengacu pada kepentingan masyarakat yang lebih luas," kata Riza di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Rabu, 16 Juni.
Hal apa saja yang perlu disoroti?
Kamis malam, 17 Juni, kami mencoba menghubungi Ahmad Sahroni. Tak ada tanggapan hingga artikel ini disusun. Yang jelas, ada beberapa sorotan terkait pengambilan kebijakan ini. Pertama tentang Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mewajibkan keberadaan jalur sepeda.
Itu diungkap Ketua Tim Advokasi Bike To Work (B2W) Indonesia Fahmi Saimima. Ia menyebut rencana pembongkaran jalur sepeda melanggar UU 22/2009, yang mengamanatkan kelengkapan fasilitas sepeda. Selain UU 22/2009, rencana pembongkaran ini juga berpotensi berhadapan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013.
"Jalur sepeda, Itu amanah UU No. 22/2009, silahkan kalau mau melawan UU yang dibuat sendiri oleh legislatif," Fahmi, dikutip CNN Indonesia.
Selain potensi pertentangan aturan, rencana pembongkaran jalur sepeda ini juga menempatkan lampu sorot pada klub sepeda milik Sahroni. Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies (RCUS) Elisa Sutanudjaja, dalam akun Twitter @elisa_jkt menulis: Bapak Sahroni ini ternyata ketua klub roadbike. Ternyata genk pletoner instagrammable.
Sahroni memang membawahi sebuah komunitas sepeda bernama ASC Goweser. Komunitas itu diresmikan pada Agustus 2020 lalu. ASC Goweser menaungi banyak jenis sepeda, termasuk road bike yang spesifik jadi unit binaan khusus Sahroni. Mei lalu, para pebalap ASC Cycling tampil cemerlang di event balap Kowis Loop Cycling Community.
Dikutip Medcom, dari semua kategori, para pesepeda binaan Sahroni mengikuti empat kategori. Mereka berhasil menjadi juara serta membawa pulang medali di tiga kategori. “Saya bangga sekali dengan pencapaian tim ASC Cycling karena dari enam pesepeda yang diturunkan, tiga di antaranya berhasil naik podium," kata Sahroni waktu itu.
Selain dua hal di atas, masalah lain yang jadi sorotan adalah soal dana Rp30 miliar. Memang, dana itu bukan dari APBD DKI Jakarta sehingga pertimbangan soal pertanggungjawaban publiknya lebih minim. Dana pembangunan jalur sepeda permanen ini datang dari kompensasi pihak ketiga.
Tapi tidak kah terpikir soal progres pembangunan yang telah menghabiskan dana sekian banyak itu? Sebenarnya apa landasan dari kebijakan-kebijakan ini? Didasari pertimbangan ilmiah kah? Jika melihat watak para pengambil kebijakan di negeri ini, seringkali kebijakan diambil berdasar watak elitis penguasa.
Watak elitis pembuat kebijakan
Dalam pembuatan kebijakan, landasan dan pertimbangan jadi perkara penting. Dan tak boleh sembarangan yang jelas. Teori Inkremental menjelaskan bagaimana kebijakan ideal dibuat dengan pertanggungjawaban pada realitas.
Artinya, sebuah kebijakan harus dibuat dengan terlebih dulu melwati kajian dan berlandas pertimbangan ilmiah. Data wajib jadi pegangan.
Lalu bagaimana dengan penghapusan jalur sepeda yang dilandasi laporan dan keresahan publik? Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyampaikan pandangannya kepada VOI, Kamis, 17 Juni.
"Itu (laporan publik) enggak bisa (jadi landasan). Kalau cuma laporan publik, itu publik yang mana. Itu kan harus dilihat, di-mapping dulu. Pengertian publik itu kan dinamis dan cair. Artinya tidak ada sesuatu yang sifatnya konstan. Harus diperjelas publik yang mana."
Pertimbangan kedua, dalam sebuah kebijakan publik, pemangku kepentingan harus memiliki mindset bahwa kebijakan itu diambil untuk kepentingan publik. Bagaimana maksud penjelasan Trubus dalam konsep ini?
Ada dua perspektif melihat budaya bersepeda hari ini. Pertama, pesepeda komuter yang menjadikan sepeda sebagai alat transportasi mereka. Kedua, pesepeda olahraga. Mana lebih berkaitan dengan kepentingan publik yang lebih luas --di luar para pengguna sepeda itu sendiri?
"Kalau mau jadi kebijakan publik yang benar perspektifnya harus sebagai trasnportasi, bukan olahraga dulu. Yang olahraga carikan saja tempat," Trubus.
Trubus melihat faktor kuasa amat kuat di dalam isu ini. Dan ini telah lama jadi watak dalam pengambilan kebijakan. Kebijakan Indonesia, menurut Trubus sejak lama dipengaruhi faktor elitis.
"Bahasa ilmiahnya itu power, pada kekuasaan. Jadi power itu menjadi kunci. Karena begitu kebijakan mau dibuat, mereka yang berkekuatan besar itu yang menentukan. Seperti omnibus law, itu kan power yang besar. Atau kasus Abdee Slank. Menentukan komisaris-komisaris itu semua kan karena kekuasaan."
Dalam konteks rencana penghapusan jalur sepeda Sudirman, kita dapat melihat dua sisi kekuatan politi yang terlibat: DPR dan Kapolri. "Kapolri, untuk jadi kapolri harus fit proper test dulu di DPR."
Hal-hal semacam ini memengaruhi pengambilan keputusan. Sebab, bagaimanapun, kebijakan adalah produk politis. Yang penting untuk ditumbuhkan sekarang adalah kesadaran di kepala para pemegang kuasa untuk memenuhi unsur-unsur realitas nan ilmiah dalam pengambilan keputusan.
Selain itu, apa lagi yang penting? Pemahaman publik, tentunya. Publik yang paham adalah publik yang berdaya dalam fungsi kontrol.
*Baca Informasi lain soal JAKARTA atau baca tulisan menarik lain dari Diah Ayu Wardani juga Yudhistira Mahabharata.
BERNAS Lainnya
Baca juga:
- Pinangki Diringankan karena Perannya sebagai Ibu, Rismaya Menyusui Bayi 10 Bulannya di Penjara
- Asal-Usul Ucapan Legendaris "YNTKTS" Jokowi Sampai Populer Dijadikan Meme
- Benarkah Umat Islam Cenderung Miskin Seperti Dikatakan Jusuf Kalla? Jika Benar, Kenapa?
- Melihat Isi Buku Hikayat Pohon Ganja yang Kerap Jadi Sitaan Kasus Ganja