Pandemi COVID-19, Industri Alas Kaki Hanya Mampu Pertahankan Karyawan Selama Tiga Bulan
JAKARTA - Industri padat karya sektor alas kaki diperkirakan hanya mampu mempertahankan karyawan tanpa adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) selama tiga bulan. Pasalnya, akibat pandemi virus corona atau COVID-19 ini, perusahaan tak memiliki pengahasilan tetap.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengatakan, di tengah pandemi COVID-19 ini, masih banyak perusahaan dengan orientasi ekspor yang masih menyelesaikan sisa order. Sehingga, jumlah karyawan yang bekerja masih ada.
"Secara umum daya tahan industri untuk mempertahankan karyawan tanpa melakukan PHK di masa pandemi COVID-19 dengan kondisi tanpa pemasukan, adalah selama tiga bulan ke depan," katanya, melalui keterangan tertulis yang diterima VOI, di Jakarta, Jumat, 24 April.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada perusahaan alas kaki anggota Aprisindo, Firman mengungkap, 37 persen perusahaan hanya mampu mempertahankan karyawan selama tiga bulan.
Kemudian, lanjut Firman, 12 persen perusahaan mampu bertahan selama satu bulan. Kemudian, 12 persen bertahan dua bulan dan sebanyak 13 persen mampu bertahan empat bulan.
"Untuk perusahaan yang mampu bertahan selama enam bulan dan lebih dari enam bulan, masing-masing mendapatkan persentase 13 persen," tuturnya.
Namun, Firman menjelaskan, kemampuan pelaku usaha mempertahankan karyawannya selama tiga bulan ini, hanya mampu membayarkan upah. Itu, tidak termasuk dengan kewajiban untuk tunjangan hari raya (THR) Idulfitri.
Firman menjelaskan, hingga saat ini 87 persen karyawan masih bekerja secara normal. Sedangkan 6 persen karyawan kontrak sudah tidak diperpanjang kontrak kerjanya.
"Sebanyak 6 persen dari pegawai tetap telah dirumahkan tanpa mendapatkan tunjangan dan gaji. Hanya ada 1 persen pegawai tetap yang dirumahkan dengan mendapatkan tunjangan," jelasnya.
Sementara itu, menurut Firman, besaran selisih jumlah tenaga kerja yang masih bekerja dan yang sudah dirumahkan dipengaruhi oleh faktor disparitas ukuran perusahaan. Di antaranya yakni, responden yang cukup besar juga antara perusahaan kecil dengan perusahaan besar yang berorientasi ekspor.
"Meskipun terhitung mulai Juni 2020 masih belum ada kepastian apakah ada order untuk ekspor atau tidak," tuturnya.
Terkendala Bahan Baku
Tekanan kepada industri alas kaki, tak lain dan tak bukan adalah masalah bahan baku. Seperti diketahui, akibat wabah COVID-19 ini, beberapa negara penghasil bahan baku di dunia mengeluarkan kebijakan karantina wilayah atau lockdown, sehingga 70 persen industri alas kaki dalam negeri kekurangan bahan baku.
Baca juga:
Firman mengatakan, akibat terhambatnya bahan baku banyak dari kapasitas industri saat ini hanya terpakai 21 persen hingga 45 persen. Sedangkan, kata Firman, pabrik yang dalam masa pandemi ini masih berproduksi dengan kapasitas sekitar 72 persen adalah industri besar yang orientasinya untuk ekspor, dengan jumlah tenaga kerja di atas 5.000 orang.
"Sejumlah industri yang masih beroperasi, bahan baku menjadi masalah yang mengganggu," katanya.
Berdasarkan survei terhadap anggota Aprisindo, kata Firman, tercatat 70 persen industri mengalami masalah bahan baku dan 30 persen tak bermasalah. Selain itu, ada sekitar 37 persen perusahaan mengeluhkan kesulitan mengimpor bahan baku. Sedangkan, di masa pandemi ini 36 persen supplier bahan baku tutup.
Firman mengungkap, sebanyak 18 persen industri alas kaki juga mengeluhkan adanya kenaikan harga dan 9 persen mengalami kesulitan prosedur untuk mendapatkan bahan baku. Apalagi, kondisi ini juga diperburuk dengan sulitnya mengekspor produk-produk alas kaki.
"20 persen pelaku industri mengaku sepi orderan sehingga bisnis ini semakin terpuruk. Sedangkan, sebanyak 80 persen industri kesuliatan menjual produknya ke luar negeri lantaran adanya kebijakan karantina wilayah atau lockdown," tuturnya.
Mendesak Pemerintah
Firman mengungkap, permasalahan pasar ekspor ini disebabkan karena sejumlah negara tujuan utama ekspor industri sektor alas kaki ini juga melakukan lockdown. Dampak dari kendala ini adalah, pendapatan yang tak menentu dan beban biaya operasional yang tinggi mengancam kelanjutan bisnis alas kaki.
"Aprisindo mendesak pemerintah untuk segera memberikan stimulus agar dapat menyelamatkan sektor padat karya ini. Seperti insentif pajak, dana kemudahan perizinan dan bantuan pelatihan," ucapnya.
Selain itu, kata Firman, pemerintah juga harus menjaga pasar domestik khususnya melalui penjualan offline. Tujuannya, untuk menjaga nilai tambah pada sektor distribusi dan padat karya.
"Pemerintah dapat memberikan iuran BPJS Kesehatan supaya bisa ditunda tapi karyawan tetap mendapatkan manfaatnya. Sedangkan, untuk karyawan yang dirumahkan bisa digaji 50 persen dari upah. THR bisa dicicil atau di bayar sebagian dulu," katanya.