Bagikan:

JAKARTA – Penutupan pabrik sepatu Bata di Purwakarta pada awal Mei lalu disayangkan banyak pihak, terutama karyawan di pabrik tersebut. Bata dianggap kurang berinovasi sehingga kesulitan bersaing dengan sepatu-sepatu lainnya.

Direktur dan Sekretaris Bata, Hatta Tutuko mengatakan penutupan ini dilakukan demi menjaga kelangsungan bisnis jangka panjang.

"Bata merasa perlu untuk bertransformasi untuk melayani konsumen dengan lebih baik. Perusahaan tidak lagi dapat melanjutkan produksi di pabrik di Purwakarta dan sebagai gantinya perusahaan akan menawarkan produk-produk baru yang menarik yang dirancang dan dikembangkan oleh Bata serta produsen lokal dari pabrik mitra kami di Indonesia. Banyak di antaranya yang sudah bekerja sama dengan kami sebelumnya,” kata Hatta dalam keterangannya.

Manajemen Bata mengungkapkan, kerugian perusahaan telah terjadi selama empat tahun terakhir. (X)

Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan keputusan Bata menutup operasional secara permanen merupakan indikasi adanya pelambatan di sektor industri alas kaki.

Sementara pengamat pemasaran dari Inventure, Yuswohady menilai merek sepatu ini terlambat merespons perkembangan digital dan perubahan selera pasar.

Bukan Sekadar Kalah Tren

Bata, perusahaan sepatu asal Republik Ceko, pertama kali muncul di Indonesia pada 1931. Awalnya Bata melakukan kerja sama dengan perusahaan kolonial Netherlandsch-Indisch sebagai importir sepatu yang beroperasi di Tanjung Priok.

Enam tahun kemudian pabrik pertama didirikan di tengah perkebunan karet di area Kalibata, Jakarta Selatan. Lalu pada 1994 Bata membangun pabrik terbesar di Purwakarta, sedangkan pabrik di Kalibata sudah tidak ada.

Namun berdasarkan laporan keuangan perusahaan per 31 Desember 2023, PT Sepatu Bata Tbk mencatat rugi tahun berjalan sebesar Rp190,5 miliar, dibanding tahun sebelumnya yang hanya Rp106,1 miliar.

Sementara itu, penjualan neto Bata tercatat Rp609,61 miliar pada 2023 atau turun dibandingkan tahun sebelumnya yakni Rp643,45 miliar. Dalam laporan keterbukaan informasi, manajemen mengungkap, kerugian perusahaan telah terjadi selama empat tahun sejak pandemi COVID-19.

Penutupan permanen pabrik Bata di Purwakarta, Jawa Barat mengundang keprihatinan banyak kalangan. Tak sedikit yang menyebut Bata kehilangan pelanggan karena minim inovasi. Namun, Bhima memiliki pandangan lain. Menurutnya, impor alas kaki dari Vietnam dan China ikut andil dalam lemahnya industri alas kaki Tanah Air.

Sepatu merek Bata dianggap mengalami brand localization atau terlanjur dipersepsi sebagai merek lokal oleh masyarakat Indonesia. (Instagram/@bataindonesia)

Bhima menjelaskan, total impor alas kaki dari China tembus 559 juta dolar Amerika Serikat pada 2022 sementara impor dari Vietnam 269 juta dolar AS di periode yang sama.

“Memang Bata ini sudah lama kehilangan pasar. Tapi bukan sekedar karena kalah tren model alas kaki yang digemari masyarakat,” kata Bhima kepada VOI.

“Ada kontribusi dari impor alas kaki yang masif selama 10 tahun terakhir dari Vietnam, dan China. Pabrik kalah saing karena barang dari Vietnam lebih murah, banyak barang impor ilegal juga tanpa dikenai bea masuk,” ia melanjutkan.

Selain itu, Bhima juga menyoroti regulasi dalam negeri yang dianggap kurang ramah bagi pabrikan alas kaki karena adanya pengetatan untuk impor bahas baku.

“Ini serba repot untuk impor bahan baku dibatasi, sementara impor barang jadinya lewat jalur tol tanpa pengaturan ketat. Tidak heran pengusaha alas kaki memilih jadi importir daripada harus meneruskan operasional pabrik,” ujarnya lagi.

Diterjang Tiga Disrupsi

Sejak masuk ke Indonesia di era sebelum kemerdekaan, sepatu Bata sudah punya pelanggan sendiri. Anak yang besar di era 1990-an sudah pasti dekat dengan Bata, karena merek sepatu ini termasuk yang paling populer di masa itu.

Tapi Bata tidak mengikuti perkembangan zaman. Bata, terlanjur mendapat label sebagai brand lokal, bukan brand global, padahal dia bukan merek asal Indonesia. Ditambah lagi, Bata memiliki kesan sebagai sepatu untuk kalangan menengah ke bawah, yang mana dihindari generasi milenial dan Z.

Yuswohady menyebut Bata babak belur karena diterjang tiga disrupsi sekaligus, yakni disrupsi digital, disrupsi milenial, dan disrupsi pandemi COVID-19. Tiga disrupsi itulah yang menyebabkan merek sepatu legendaris ini tumbang.

Menurut Yuswodady ada penyebab yang sifatnya short termmedium term, dan long term. Untuk short term, ia menyebut pandemi COVID-19 memberikan dampak langsung.

“Kita tahu pandemi itu orang tidak bisa keluar rumah, sementara sebagian besar toko sepatu Bata ini offline, toko-toko Bata yang adanya di second cities atau kabupaten. Karena memang segmennya yang agak menengah dan bawah. Jadi ketika kena pandemi, maka tokonya jadi sepi. Sehingga kemudian permintaannya turun, dan omsetnya jadi turun, dan terbukti di laporan keuangan empat tahun terakhir sejak 2020 memang drop," kata Yuswohady.

Di level medium term, Bata dianggap mengalami kendala merespons gelombang digital. Sebelum dunia dilanda pandemi, Bata lambat melakukan digitalisasi proses operasinya.

Padahal di masa itu, sudah banyak bermunculan sepatu lokal yang lincah memanfaatkan teknologi digital untuk bersaing dengan merk luar. Contoh merek lokal tersebut adala Compass, Brodo, Aerostreet, dan sebagainya.

Dikatakan Yuswohady, para pemain baru ini berhasil memanfaatkan kanal digital, bahkan menciptakan tren takut kehilangan momen atau populer dengan sebutan FOMO (Fear of Missing Out), sehingga menciptakan sesuatu yang viral di masyarakat.

Terakhir, disrupsi yang paling fundamental adalah Bata mengalami penuaan brand. Bata sebagai brand global mengalami brand localization atau dipersepsi sebagai merek lokal.

Yuswohady mengatakan, Bata gagal mengikuti selera generasi konsumen yang lebih baru, yaitu konsumen milenial dan gen Z. Apalagi, dari segi kualitas dan branding Bata mendapat persepsi tidak begitu baik dan dinilai ketinggalan zaman.

Iklan sepatu Bata di tahun 1980-an. (Perpusnas)

Kelahiran generasi milenial dan Z inilah yang menurut Yuswohady menjadi titik balik menurunnya merek Bata, karena dua generasi tersebut memiliki preferensi gaya pakaian yang berbeda dibanding generasi sebelumnya.

“Bata dianggap sebagai representasi dari generasi yang lama, boomers sama Gen X. Makanya generasi milenial ini menganggap Bata sebagai sebuah brand yang kolonial, sehingga mengalami penuaan lah," tandas Yuswohady.