Efek COVID-19: Diminta Beri Diskon untuk Kelas Menengah, PLN 'Angkat Tangan'
Ilustrasi. (Foto: Instagram @pln_id)

Bagikan:

JAKARTA - PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak bisa memberikan insentif kepada pelanggan 900 VA (non subsidi) dan pelanggan 1300 VA. Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini menjelaskan bahwa anggaran untuk insentif kelas menengah ini jumlahnya sangat besar, sehingga keuangan PLN tidak mampu untuk menanggungnya. 

Berdasarkan data PLN, kata Zulkifli, jumlah pelanggan 900 VA (non subsidi) mencapai 22,7 juta pelanggan dengan rekening bulanan Rp143.590 sehingga totalnya Rp9,5 triliun. Kemudian, jumlah pelanggan 1300 VA mencapai 11,7 juta dengan rekening bulanan Rp221.631 sehingga total yang akan dikeluarkan Rp7,4 triliun.

"Total anggaran yang dikeluarkan Rp16,9 triliun per bulan. Jadi itu sudah barang tentu di luar kemampuan PLN. Kami tidak sanggup," tuturnya, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII, di Jakarta, Rabu, 22 April.

Sebelumnya, memang dalam rapat tersebut, beberapa anggota DPR mempertanyakan soal apakah pelanggan 900 VA (non subsidi) dan 1300 VA akan mendapatkan insentif juga. Pasalnya, saat ini dampak virus corona atau COVID-19 sudah dirasakan semua kalangan.

Menurut Zulkifli, saat ini juga telah terjadi penurunan demand industri akibat pandemi COVID-19. Karena hal ini, PLN juga sangat sulit untuk menurunkan atau memberi diskon pada pengguna 900 VA (non-subsidi) dan 1.300 VA. 

"Terkait dengan penurunan tarif, kami di situasi saat ini sungguh tidak mudah untuk melakukan penurunan tarif. Dan kami harus melakukan assesment secara menyeluruh terhadap pendapatan PLN, biaya PLN. Itu yang sedang kami lakukan," jelasnya.

Zulkifli mengatakan, jumlah anggaran yang dikeluarkan untuk memberikan subsidi atau dana talangan pelanggan 450 VA dan 900 VA (subsidi) hanya sekitar Rp3,4 per bulan. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibanding dengan total anggaran yang harus dikeluarkan untuk membantu kelas menengah.

Apalagi, kata Zulkifli, untuk insentif yang diberikan pada pengguna 450 VA dan 900 VA, sudah jelas dan PLN tidak bisa keluar dari nama-nama tersebut.

"Daftar nama dari yang mendapat subsidi, sudah daftar yang baku. Jadi tidak bisa keluar dari daftar tersebut. Daftar ini dari Departemen Sosial, yang setiap minimal 6 bulan sekali, datanya disurvei bersama PLN ke lapangan," jelasnya.

Penurunan Pendapatan PLN

Zulkifli juga menuturkan, PLN mengalami penurunan pendapatan akibat COVID-19 ini. Ia menyebut, penurunan 1 persen dari demand listrik, maka akan berdampak pada pendapatan PLN yang akan turun Rp2,8 triliun.

"Kita lihat saja nanti kalau kenyataannya penurunannya 10 persen, maka berdampak kepada pendapatan PLN akan turun sebesar Rp28 triliun. Karena 1 persen penurunan, sama akibatnya dengan turun Rp2,8 triliun," tuturnya.

Menurut Zulkifli, Penjualan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) ditargetkan sebesar Rp256,7 triliun. Dengan asumsi penurunan permintaan listrik sebesar 9,7 persen yang diajukan ke pemegang saham, maka penjualan perusahan akan berkurang sebesar Rp35 triliun atau menjadi Rp221,5 triliun.

"Itu yang terjadi akibat penurunan pada penjualan kami. Terkait pendapatan usaha, itu berbeda karena pendapatan usaha digabung dengan subsidi," katanya.

Kemudian, Zulkifli merinci, dampak penurunan pengunaan listrik akibat COVID-19 berdasarkan wilayah. Ia mengatakan, jika ditotal secara keseluruhan menurunnya beban listrik di Pulau Jawa bisa mencapai minus 10 persen. Namun, dampak akibat COVID-19 yang terjadi di Pulau Jawa ini berbeda dengan yang terjadi di Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Bali.

Lebih lanjut, Zulkifli mengatakan, perbedaan tersebut dipengaruhi beberapa faktor yaitu, apakah wilayah tersebut memiliki kawasan industri yang berhenti beroperasi akibat COVID-19 atau tidak, seberapa besar berhentinya aktivitas ekonomi di wilayah tersebut, dan berapa banyak pusat perbelanjaan, perkantoran maupun komersial lainnya.

Menurut Zulkifli, Pulau Jawa merupakan kawasan industri dan ekonomi terbesar di mana tentu dampak penurunan akibat COVID-19 ini sangat signifikan. Salah satunya, wilayah Jawa Barat yang memiliki kawasan ekonomi terbesar dan juga episentrum Pandemi COVID-19. Sehingga, seluruh aktivitas ekonomi terkendala.

Sementara itu, kata Zulkifli, di pulau Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, ekonominya mengandalkan sumber daya alam. Sehingga penurunannya tidak signifikan dibandingkan dari Pulau Jawa. Kemudian, untuk Pulau Sumatra, pembangunan infrastruktur juga masih signifikan berkontribusinya pada penggunaan listrik. Sehingga dampak penurunan juga tidak sebesar di Jawa.

Kemudian, lanjut Zulkifli, Pulau Bali juga mengalami penurunan komsumsi listrik sangat besar dibandingkan dengan daerah lain. Jumlahnya bahkan mencapai 50 persen. Menurut dia, hal ini dikarenakan pulau Bali berfokus pada pariwisata. Namun, akibat COVID-19 demand wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik menurun drastis. Bahkan, perhotelan di pulau inu juga tidak beroperasi.

"Paling tinggi penurunan listrik di Bali, hotel enggak beroperasi, tamunya turun drastis," jelasnya.

Tak hanya itu, Zulkifli mengungkap, ketenagalistrikan Jawa-Bali selama beberapa minggu terakhir juga terus mengalami penurunan permintan. Penurunan sistem Jawa-Bali pada minggu kedua April tahun ini sebesar minus 9,55 persen dari periode yang sama tahun lalu.

"Untuk sistem energi di Kalimantan Barat pada pada minggu kedua April menurun 1,81 GWh (Giga Watt Hour) atau sebesar 3,97 persen dari periode yang sama tahun 2009," jelasnya.

Zulkifli mengatakan, penurunan sistem kelistrikan di Kalimantan Barat ini baru terjadi di minggu kedua April. Sedangkan, pada akhir Maret hingga awal April, di sistem kelistrikan Kalimantan mengalami kenaikan sebesar 5,82 persen atau sebesar 2,53 GWh.

Penurunan, lanjut Zulkifli, juga terjadi pada sistem Sulawesi bagian Selatan di mana menurun pada minggu kedua April sebesar 3,16 persen dari periode yang sama tahun lalu. Sedangkan, wilayah Kalimantan Selatan,Tengah dan Timur, interkoneksi juga mengalami penurunan permintaan pada Minggu kedua April di mana terjadi kenaikan 2,29 persen atau sebesar 3,49 GWh dari periode yang sama tahun lalu.

Namun, Zulkifli mengatakan, meski tak mengalami minus pada pertumbuhannya, tetapi tren sistem kelistrikan di wilayah ini menunjukkan tren penurunan pertumbuhan dari sejak minggu kedua Maret di mana kenaikan penggunaan listrik 18,23 persen atau sebesar 26,12 GWh.

Sistem wilayah Sulawesi bagian utara, lanjut Zulkifli, tak mengalami pertumbuhan yang minus meski terjadi penurunan pertumbuhan sejak 9 Maret hingga 11 April tahun ini. Pada Minggu kedua Maret, di sistem Sulawesi bagian Utara justru mengalami pertumbuhan sebesar 8,14 persen. Lalu menurun menjadi hanya tumbuh 0,61 persen di minggu kedua April bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Berdasarkan data PLN, pertumbuhan minus juga terjadi di sistem kelistrikan Sumatra di mana pada minggu kedua April turun sebesar 2,08 persen dari periode yang sama tahun lalu. Padahal, kata Zulkifli, pada minggu pertama April, masih ada kenaikan pertumbuhan sebesar 4,87 persen dari periode yang sama tahun lalu.

Sementara itu, kata Zulkifli, untuk sistem ketenagalistrikan di wilayah Nusa Tenggara Timur juga mengalami tren penurunan permintan dari sejak awal Maret tahun ini. Pada Minggu kedua bulan Maret ada kenaikan sebesar 21,5 persen dari periode yang sama tahun lalu. Namun, menurun pertumbuhannya pada Minggu kedua bulan April yang hanya sebesar 0,9 persen dari periode yang sama tahun lalu.