Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah berusaha memberikan stimulus yang bersifat inklusif untuk memitigasi dampak kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai tahun depan.

“Secara umum, kalau kita perhatikan, pemerintah memang berusaha agar stimulus yang diberikan bersifat inklusif dan menyasar semua kelompok golongan pendapatan. Mulai dari pendapatan bawah, menengah, hingga pendapatan atas,” ujarnya dilansir ANTARA, Rabu, 18 Desember.

Misalnya, bantuan subsidi atau diskon listrik sebesar 50 persen bagi pelanggan dengan daya listrik terpasang hingga 2.200 watt yang diberikan selama dua bulan sejak Januari-Februari 2025 dinilai menjadi salah satu kebijakan yang relatif mempunyai fungsi besar.

Hal ini mengingat pengeluaran rata-rata masyarakat, terutama kelompok pendapat menengah ke bawah, untuk membayar listrik itu relatif besar.

Secara persentase, iuran pembayaran listrik juga disebut menjadi penyumbang alokasi terbesar kedua dalam kelompok rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan perumahan dan fasilitas rumah tangga.

“Namun, memang kemudian isunya adalah relatif terbatasnya durasi yang diberikan pemerintah untuk diskon ini,” ungkap dia.

Jika dibandingkan dengan insentif yang diberikan pemerintah pada masa pandemi COVID-19, durasi diskon listrik bahkan berlaku sampai sembilan bulan.

Beberapa kelompok diskon listrik juga diberikan hingga 100 persen, tetapi pemerintah tetap bisa menjaga pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2021.

Meskipun beberapa insentif diberikan pemerintah guna mengatasi dampak PPN 12 persen sudah bagus, lanjutnya, tetapi di saat bersamaan jangkauan stimulus itu terbatas karena hanya bisa diimplementasikan terhadap mereka yang bekerja di sektor formal.

Padahal, tidak sedikit juga kelas menengah yang bekerja di sektor informal, sehingga mereka tak bisa memperoleh pemberian insentif pajak dari pemerintah.

Yusuf juga menyoroti insentif jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang dianggap kurang cocok, apalagi jika dikaitkan dengan upaya menjaga daya beli.

“Karena insentif tersebut justru baru akan diberikan ketika mereka atau kelas menengah kehilangan pekerjaannya. Padahal, justru yang harus dilakukan pemerintah agar mereka tidak kehilangan pekerjaan, sehingga bisa terus melakukan konsumsi pada level yang sama dan tetap bisa menjaga konsumsi rumah tangga untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi secara agregatif,” katanya.