Indonesia Kehabisan Pilihan: Sanksi Tegas Pembatasan Sosial atau Jadi Italia Kedua

JAKARTA - Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, terdapat 520 orang yang meninggal akibat COVID-19 dari total 5.516 kasus di Indonesia. Sebagian besar kasus COVID-19 berasal dari Ibu Kota, Jakarta. 

Mirisnya, di Jakarta yang merupakan daerah dengan dua per tiga kasus COVID-19 di Indonesia berasal, dilaporkan masih banyak anak muda yang melakukan interaksi sosial di warung-warung dan kafe-kafe, meskipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah memberlakukan langkah-langkah baru untuk menegakkan social distancing pada 7 April.

Pertemuan lebih dari lima orang telah dilarang, ada batasan jumlah orang yang dapat menggunakan transportasi umum. Ruang publik juga telah ditutup. Namun, penegakan langkah-langkah tersebut dianggap masih kurang dan terancam akan terdapat konsekuensi yang mengerikan nantinya.

Pemeriksaan dalam kebijakan PSBB (Irfan Meidianto/VOI)

Dilansir dari South China Morning Post, Jumat, 17 April, bagi para analis, ini adalah sebuah pengulangan yang mengerikan tentang apa yang terjadi di Italia, di mana orang terus bersosialisasi di kafe dan klub pada Februari ketika COVID-19 tengah menyebar di wilayah utara negara tersebut.

Pada Maret, jumlah penyebaran COVID-19 di Italia meningkat. Saat itu, Italia melaporkan lebih dari 165 ribu kasus. Sekitar 21.600 orang telah meninggal di sana, jumlah kematian tertinggi kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS).

Para ahli yang memodelkan wabah mengingatkan bahwa Indonesia bisa saja menuju jalan yang sama dengan Italia, yaitu gagal dengan cepat menerapkan langkah-langkah untuk mengisolasi daerah-daerah yang terkena dampak dan membatasi pergerakan masyarakat. Bahkan Indonesia bisa saja mengalami hal yang lebih parah dari Italia.

Kasus COVID-19 di Indonesia diperkirakan memuncak di angka 95 ribu antara awal Mei dan awal Juni. Penasihat Satgas COVID-19 untuk pemerintah, Wiku Adisasmito mengatakan, model lain yang dibuat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia telah memperingatkan bahwa mungkin ada lebih dari 140 ribu kematian dan 1,5 juta kasus di seluruh negeri pada Mei, kecuali pemerintah mengambil tindakan lebih keras.

Aktivitas pekerja di Thamrin (Angga Nugraha/VOI)

"Ini bisa menjadi (kasus yang sama seperti Italia) jika intervensi pemerintah terus berada dalam kategori intervensi ringan hingga sedang dan bukan skala tinggi," kata Iwan Ariawan, dari Universitas Indonesia.

Pandemi ini juga telah merenggut nyawa banyak profesional medis di Indonesia dan Italia. Di negara-negara di Asia Tenggara, setidaknya 22 dokter, sepuluh perawat, dan enam dokter gigi telah meninggal pada Senin. Sementara, Italia telah melaporkan kematian lebih dari seratus dokter.

Banyak Ilmuwan Indonesia memperingatkan bahwa angka kasus COVID-19 sebenarnya sepuluh kali lebih tinggi dari angka resmi, mengingat tingkat pengujian yang rendah. Hingga saat ini, lebih dari 36.000 orang telah diuji yang mana hanya 0,01 persen dari populasi masyarakat Indonesia karena. Pemerintah berupaya meningkatkan pengujian sepuluh ribu orang per hari.

"Yang pasti, jumlah orang dengan COVID-19 jauh lebih tinggi ... 85 persen orang dengan COVID-19 tidak memiliki gejala dan mereka tidak dapat dideteksi dengan sistem pengujian saat ini yang terbatas ... Prioritas diberikan kepada orang-orang dengan gejala atau yang memiliki riwayat kontak dengan orang-orang positif COVID-19," kata Iwan. 

Perlunya sanksi

Muhammad Habib Abiyan Dzakwan, seorang peneliti dari CSIS, mengatakan bahwa banyaknya orang yang tidak memerhatikan langkah social distancing karena tidak ada sanksi bagi mereka yang tertangkap melanggar aturan tersebut. Selain itu, ia menambahkan, orang-orang masih berkumpul untuk beribadah di masjid dan gereja.

"Ini akan menambah lebih banyak orang yang terpapar COVID-19 seperti di Korea Selatan di mana banyak orang terinfeksi pada pertemuan keagamaan," katanya.

Habib juga mengkritik pemerintah pusat karena menolak permintaan dari beberapa pemerintah daerah untuk mengimplementasikan social distancing dalam skala besar. "Pemerintah pusat harus berpikir selangkah lebih maju, bahwa daerah ini tidak didukung oleh rumah sakit canggih dan petugas medis yang berlimpah," katanya.

Secara hukum, semua pemerintah daerah atau provinsi perlu mendapatkan persetujuan dari Kementerian Kesehatan sebelum mereka dapat menerapkan langkah-langkah social distancing yang lebih ketat.

Oleh karena itu, meningkatnya jumlah COVID-19 juga dikhawatirkan datang saat musim mudik tiba, yaitu menjelang Idulfitri. Di waktu tersebut, kebanyakan masyarakat memutuskan untuk kembali ke daerah masing-masing untuk merayakan lebaran bersama keluarga. Belum lagi yang memutuskan pulang kampung karena tidak memiliki pemasukan akibat COVID-19.