Bagikan:

JAKARTA - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat kematian 19 dokter dalam perjuangan melawan pandemi COVID-19. Ironis karena kematian didominasi oleh penularan penyakit. Pemerintah gagal total melindungi tenaga medisnya. Tak ada yang akan bisa dilakukan untuk menebus kesalahan itu. Kami tak ingin terjebak dengan angka. Sebab, satu kematian sudah terlalu banyak. Lagipula, kematian-kematian ini terlalu bernilai untuk disanding dengan angka. Kematian ini adalah lubang besar bagi dunia medis Indonesia dan kehidupan manusia Indonesia di masa mendatang.

Kami berbincang dengan Halik Malik yang mewakili Pengurus Besar IDI. Sebuah duka besar, katanya. Benar, karena kebanyakan dokter yang gugur, menurutnya adalah senior yang memiliki kecakapan luar biasa di dunia medis. Soal pengalaman, tak perlu ditanya. Tak cuma soal pengalaman dan kecakapan, para dokter yang meninggal kebanyakan menempati posisi-posisi penting, seperti kepala rumah sakit, pejabat dinas, ataupun guru besar.

“Kita patut berduka karena dokter yang gugur adalah mereka yang relatif senior dan memiliki ekspertise (pengalaman),” kata Malik kepada VOI, Selasa, 7 April.

Pada perspektif lain, Malik mengajak kita melihat sisi integritas sekaligus keteladanan yang ditunjukkan para dokter yang teguh memegang sumpah melayani masyarakat dengan keterbatasan alat kesehatan, termasuk pelindung diri yang tak mampu dipenuhi pemerintah. Sampai sini, kita sudah dapat membayangkan lubang besar itu. Kita juga sudah dapat merasakan bahwa satu kematian pun sudah terlalu banyak.

Dalam sudut pandang keilmuan, kematian sejumlah guru besar yang merupakan profesor akan berdampak pada kegiatan penelitian dan pengembangan inovasi-inovasi medis. Tak cuma secara langsung, tapi juga secara tak langsung. Bibit-bibit tenaga dokter masa depan di berbagai perguruan tinggi jelas masih membutuhkan ilmu dari para profesor yang rata-rata masih mengajar hingga akhir hayatnya.

“Beberapa profesor yang meninggal adalah ahli di bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat. Prof. Bambang dan Prof. Nasrim Kodim adalah epidemiolog senior dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI. Sedangkan Prof. Iwan Prahasto adalah ahli di bidang ekonomi kesehatan dan farmakoekonomi dari Fakultas UGM,” tutur Malik.

Ilustrasi foto tenaga medis (Irfan Meidianto/VOI)

Dari data yang kami himpun, Nasrin Kodim merupakan profesor yang ahli di bidang keilmuan metode Epidemiologi Deskriptif, Epidemiologi Analitik, Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Surveilens Epidemiologi, Studi Ekologi, Aplikasi Epidemiologi pada Kebijakan, Epidemiologi Sosial. Sebelum meninggal dunia, Nasrin menjabat seagai Kepala Pusat Riset Epidemiologi dan Surveilence FKM Universitas Indonesia.

Sementara, Iwan Prahasto merupakan seorang profesor yang menjabat sebagai Guru Besar Farmakologi, Wakil Rektor, sekaligus Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar kampus, Iwan juga diketahui menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Farmakologi Indonesia sejak tahun 2006 hingga akhir hayatnya.

Selanjutnya, Bambang Sutrisna. Ia adalah profesor yang pernah bergerak sebagai National Coordinator Epidemiology of REACH Registry For Indonesia. Dia juga sempat menjabat sebagai Ketua Program Studi Epidemiologi pada periode (2000 – 2004). Saat ini Bambang juga menjabat sebagai member Of Indonesian Medical Association, member Of Public Health Indonesian Association, member Of Indonesian Cardio Cerebrovascular Society, Society For epidemiology Research dan Coordinator Research Indonesian Spine Society.

Selain tiga nama di atas, nama besar lain tercantum dalam catatan PB IDI. Mereka adalah dr. Bartholomeus Bayu Satrio; dr. Exsenveny Lalopua, M.Kes; dr. Hadio Ali K, Sp.S; dr. Djoko Judodjoko, Sp.B; dr. Adi Mirsa Putra, Sp.THT-KL; dr. Laurentius Panggabean, Sp.KJ; dr. Ucok Martin Sp. P; dr. Efrizal Syamsudin, MM; dr. Ratih Purwarini, MSi; dr. Jeanne PMR Winaktu, SpBS; Dr. Bernadetta Tuwsnakotta Sp THT; DR.Dr. Lukman Shebubakar SpOT (K); Dr Ketty; Dr. Heru S. meninggal; Dr. Wahyu Hidayat, SpTHT dan Dr. Naek L. Tobing.

Jangan lagi abai

Dengan banyaknya profesor, dokter yang sarat pengalaman dan tenaga medis lainnya yang meninggal dunia atau terjangkit COVID-19 karena tugas yang mereka lakukan, PB IDI kemudian berinisiatif membentuk tim audit untuk menelusuri secara lengkap kematian para dokter tersebut.

Selain itu, mereka juga terus mendesak pemerintah terkait beberapa hal. Di antaranya agar pemerintah membuka data soal mereka yang terjangkit COVID-19, termasuk para tenaga kesehatan. Data resmi ini, kata Malik penting untuk menganalisis faktor risiko dan penyebab penularan virus ini sehingga tindakan antisipasi bisa dilakukan. Pemeritah jelas tak boleh lagi abai.

“Data ini penting untuk upaya memutus mata rantai penularan COVID-19 di fasilitas kesehatan dan di tengah masyarakat,” ujar dia.

Selanjutnya, permintaan yang belum juga terpenuhi. Pemerintah pusat harus segera menyediakan alat perlindungan diri (APD) di setiap fasilitas kesehatan tanpa terkecuali. Apalagi, saat ini sulit untuk mengetahui siapa yang terpapar dan tidak. Pengalaman di lapangan telah menunjukkan banyaknya orang yang terjangkit tanpa menunjukkan gejala. Perkara ini yang membuat penyebaran sulit dikendalikan.

Seorang petugas puskesmas di Banjarharjo, Brebes, Jawa Tengah dengan APD seadanya (Istimewa)

Catatan lain dari PB IDI, kata Malik adalah soal penyesuaian sistem layanan kesehatan di setiap puskesmas, klinik dan rumah sakit. Bagi pasien yang datang ke fasilitas kesehatan, perlu dilakukan screening untuk mengetahui apakah mereka terjangkit COVID-19 atau tidak.

“Jadi, ada pemilahan, triase, dan alur pelayanan yang berbeda. Modifikasi sistem layanan untuk mengurangi resiko penularan di fasilitas kesehatan,” ujar dia.

Prioritas tes COVID-19 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) atau Rapid Test juga disinggung Malik. Menurutnya, tes ini harus benar-benar diprioritaskan bagi orang dalam pengawasan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP) dan tenaga medis agar rantai penyebaran virus ini bisa segera terputus. Pemilahan ini penting untuk mengklasifikasi penanganan sesuai risiko medis.

Lainnya, Malik mendorong pemerintah untuk lebih aktif mengadaptasi langkah-langkah maju berbuah hasil yang dilakukan negara-negara lain. Hal ini, menurutnya penting dalam menghadapi situasi pandemi, apalagi yang disebabkan virus jenis baru.

“Tidak ada negara yang siap menghadapi pandemi ini, tapi belajar dari situasi saat ini dan pengalaman di negara lainnya setidaknya pemerintah bisa lebih siap kedepannya dengan memperkuat sistem kesehatan dan sistem mitigasi bencana di Indonesia,” tuturnya.

Di luar nama-nama yang tersebut dalam artikel ini, masih banyak kematian lain yang juga tak sepatutnya terjadi, kematian para perawat dan petugas medis lain yang tak dapat ditebus oleh pemerintah. Namun, tentu pemerintah bisa mengurangi risiko kematian lain dengan dukungan dan perlindungan nyata. Penyediaan alat medis untuk setiap insan di garda depan, mungkin bisa jadi awalan.

“Terakhir, sepatutnya ada apresiasi dan perlindungan yang nyata kepada tenaga medis oleh negara atau presiden dan lainnya,” ungkap Malik.