JAKARTA - Kapolri Jenderal Idham Azis menerbitkan surat telegram yang isinya bertujuan untuk mencegah dan menindak kejahatan saat penyebaran COVID-19 terjadi di Indonesia. Hanya saja, penindakan ini rawan jadi obat imunitas pemerintah. Isu lama sepanjang rezim yang dikhawatirkan membungkam kehidupan bernegara yang kritis. Cobaan rakyat di masa pandemi bertambah.
Melalui Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 yang ditandatangani oleh Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo atas nama Kapolri Jenderal Idham Azis, dijelaskan tentang kejahatan siber yang harus dicegah dan ditindak selama masa pandemi COVID-19.
Tertulis, bentuk pelanggaran atau kejahatan siber yang mungkin terjadi, antara lain ketahanan akses data internet selama masa darurat, seperti penyebaran hoaks terkait COVID-19 dan kebijakan pemerintah; penghinaan terhadap penguasa/presiden dan pejabat pemerintah; penipuan penjualan masker, alat pelindung diri (APD), antiseptik, obat-obatan lainnya dan disinfektan; tidak mematuhi penyelenggara karantina kesehatan atau menghalanginya.
Jajaran kepolisian juga diperintahkan untuk melakukan patroli siber terkait penyebaran informasi bohong atau hoaks terkait COVID-19 termasuk memantau dan menindak tegas pelaku penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah. Bagi pelaku penghinaan terhadap presiden atau pejabat negara lainnya, akan dikenakan Pasal 207 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.
Instruksi per tanggal 4 April ini kemudian dibenarkan oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Argo Yuwono. "Ya, betul (adanya penerbitan telegram)," kata Argo kepada wartawan.
Selain itu, Kapolri juga menerbitkan Surat Telegram Nomor ST/1099/IV/HUK.7.1.2020 tentang tugas dan fungsi Reserse Kriminal dalam kesediaan bahan pokok dan distribusi. Kemungkinan pelanggaran atau kejahatan yang terjadi, kata Kapolri dalam surat tersebut adalah memainkan harga dan menimbun bahan pokok serta menghalangi dan menghambat distribusi pangan.
Menanggapi munculnya surat telegram Kapolri yang isinya memerintahkan penindakan terhadap pelaku penghinaan presiden atau pejabat lainnya terkait penanganan COVID-19, anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani meminta agar Polri berhati-hati. Dia mengingatkan pihak kepolisian soal Surat Edaran Kapolri Nomor 6/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian yang mengedepankan pencegahan.
"Agar apa yang ada dalam SE Kapolri tersebut diterapkan secara baik oleh Polri untuk menghindarkan kesan bahwa Polri sewenang-wenang dalam penegakan hukum," kata Arsul dalam keterangan tertulisnya, Senin, 6 April.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu juga meminta agar kepolisian tak melanggar prinsip due process of law atau tindakan dengan dasar aturan dan prosedur yang benar.
Rakyat lagi yang dikorbankan
Lainnya, anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Suding menyatakan tidak boleh ada upaya pembungkaman terhadap suara kritis masyarakat. Semua proses hukum, kata dia, harus dilakukan dengan prinsip dasar aturan dan prosedur yang benar. Jangan sampai rakyat yang kembali dikorbankan.
Apalagi, kritik terhadap presiden maupun pejabat lainnya sebenarnya adalah hal yang biasa dalam era demokrasi seperti sekarang ini. Sehingga para pejabat publik tidak boleh tipis telinga.
"Dalam negara demokrasi segala kebijakan dan tindakan akan selalu mendapat kritikan, baik yang bersifat konstruktif maupun destruktif. Kritikan terhadap penguasa adalah hal biasa dalam negara demokrasi seperti Indonesia," tegas Sarifuddin.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Muhammad Rasyid Ridha juga angkat bicara soal telegram ini. Kata dia, terkait pemantauan ruang siber atau pemantauan terhadap tindak pidana seperti penghinaan presiden dan pejabat lainnya serta penyebaran hoaks memang bermasalah karena hal ini membuat polisi terkesan bertindak secara parsial.
Padahal, aparat kepolisian harusnya bersikap imparsial dan tidak memihak siapapun. Polisi, kata Rasyid, tak boleh mencari-cari kesalahan orang lain sebelum adanya kejadian ataupun laporan terhadap suatu kejadian.
BACA JUGA:
"Tapi ini kan sudah jadi proaktif. Artinya, bakalan ada potensi kesewenang-wenangan dalam proses penegakan hukum. Salah satunya di ruang siber ada fokus mengenai berita bohong, terus juga berkenaan wabah COVID-19, terus terkait ujaran kebencian termasuk terkait penghinaan terhadap presiden dan penguasa," kata Rasyid saat dihubungi wartawan.
Sehingga dengan penggunaan Pasal 207 KUHP, dirinya menilai potensi pasal karet akan terjadi. Mengingat, tak ada batasan jelas antara mereka yang menghina ataupun mengkritik pemerintah ataupun presiden. "Dan lebih ngerinya, pasal ini bisa mudah dimainkan oleh penguasa. Oleh presiden," tegas Rasyid.
"Misalnya dalam banyak kasus, pasal ini ditujukan ke orang-orang yang mengkritik presiden. Jadi orang yang mengkritik dalam rangka bagian partisipasi publik justru dibungkam pakai pasal ini, karena dianggapnya menghina," tutupnya.