Hasil Patroli Siber Polisi Mencari Hoaks dan Penghina Presiden di Masa Pandemi
Ilustrasi foto (Markus Spiske/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Angka tindak kejahatan selama masa pandemi COVID-19 diklaim menurun secara signifikan. Di sisi lain, ada beberapa sektor kejahatan yang justru mengalami peningkatan, antara lain soal penyebaran berita bohong atau hoaks dan penghinaan presiden.

Tak dipungkiri, berbagai macam hoaks pun banyak beredar di media sosial. Mulai dari terjadinya aksi kejahatan di suatu wilayah hingga penyebaran COVID-19 yang seolah semakin tak terkontrol.

Belum lama ini, ada berita bohong layaknya imbauan yang menyebut di wilayah Cideng, Jakarta Pusat, berkeliaran orang-orang yang nekat menghadang kendaraan untuk mengambil uang dari para pengendara. Bahkan, disebutkan mereka beraksi dengan bermodalkan senjata tajam.

Berita atau informasi itu ditampik dengan tegas oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus. Menurutnya, kabar tersebut hanyalah isapan jempol belaka. Sebab, sejauh ini tak ada aksi atau kegiatan yang seperti di informasikan tersebut.

"Tidak ada, sejauh ini kondisi masih normal," kata Yusri kepada VOI, Kamis, 9 April.

Munculnya berita bohong atau hoaks ini menambah jumlah kasus yang beredar di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Berdasar data yang ada, sebanyak 43 berita bohong terjadi selama pandemi COVID-19.

Dari puluhan kasus penyebaran hoaks, baru sebagian yang berhasil diungkap. Untuk itu, aparat kepolisian pun semakin gencar melakukan patroli siber guna mengawasi dan mencegah munculnya berita-berita bohong.

"Total yang sudah diungkap ada 17 kasus, selama COVID-19," ungkap Yusri.

Kenapa?

Marak munculnya hoaks di tengah pandemi COVID-19 ini pun dikomentari kriminolog Universitas Indonesia Ferdinand Andi Lolo. Berdasarkan sudut pandangnya, ada dua faktor utama yang memicu munculnya berita bohong.

Pertama, berkaitan dengan sifat iseng seseorang yang sengaja ingin menciptakan kecemasan atau kekhawatiran di masyarakat. Kemudian, yang lebih struktur, adalah niat untuk memojokkan pemerintah atas apa yang sedang terjadi dengan harapan timbul kekacauan.

"Motivasinya bermacam-macam. Ada yang hanya untuk kesenangan saja tanpa memikirkan konsekuensi hukum dan timbulnya ketakutan pada masyarakat. Atau juga bisa untuk mendiskreditkan pemerintah," papar Ferdinand.

Kemudian, maraknya penyebaran hoaks pun karena minimnya informasi yang didapat oleh masyarakat di masa pandemi COVID-19. Sehingga, mereka ikut meneruskan kepada sesama dengan tujuan memberikan informasi. Padahal, berita yang disebarkan pun belum dipastikan kebenarannya.

Langkah pencegahan dengan menggalakkan patroli siber jadi salah satu langkah yang diambil polisi. Hanya saja, Ferdinand menganggap perlunya penambahan efek jera dengan menerapkan hukuman yang berat bagi para pelaku di keadaan darurat seperti wabah saat ini.

"Ancaman hukuman perlu diperberat, mengingat situasinya dalam keadaan darurat," tegas Ferdinand.

Memberikan efek jera terhadap para pelaku penyebaran berita bohong dengan cara memperberat hukuman ini senada dengan surat Telegram Kapolri tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Reserse Kriminal (Reskrim) nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020.

Isi dari pedoman tersebut mengatur tentang pelaksanaan hukuman pidana terkait penyebaran informasi yang dianggap bohong di ruang siber ataupun online.

Penghinaan

Selain penegasan pidana soal hoaks, pedoman tersebut juga menyinggung pemidanaan bagi orang-orang yang melakukan penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara lainnya. Poin satu ini jadi masalah. Banyak pihak yang menganggap aturan pemidanaan ini berlawanan dengan demokrasi yang tengah dibangun negeri ini.

Apalagi dalam situasi krisis seperti ini, di mana pemerintah harus membuat keputusan-keputusan penting. Pengawalan dan kritik jadi hal yang amat diperlukan. Dan pasal ini, bagaimana pun rentan dimanfaatkan penguasa untuk membungkam sikap kritis rakyat.

Satu kasus pemidanaan terjadi di Kepulauan Riau. Seorang buruh berinisial WP (29) di Kelurahan Kampung Bugis, Tanjung Pinang, ditangkap. Ia dianggap menghina Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena mengunggah meme di media sosial Facebook. Polisi menilai meme tersebut dapat menimbulkan permusuhan individu atau kelompok-kelompok dari golongan tertentu.

Kabid Humas Polda Kepulauan Riau Kombes Harry Goldenhardt menyebut, berdasarkan hasil pemeriksaan, pelaku mengaku alasannya menggunggah meme tersebut untuk menyindir kepemimpinan Jokowi. "Maksud dan tujuan pelaku adalah untuk membuat lelucon dengan menyindir kinerja Presiden Republik Indonesia. Dan menurut keterangan awal pelaku bahwa ada ketidaksukaan terhadap Presiden Republik Indonesia," kata Harry.

WP dijerat Pasal 45a ayat (2) junto Pasal 28 ayat (2) UU RI nomor 11/2008 tentang ITE dan atau Pasal 208 ayat (1) KUHP dengan hukuman pidana penjara paling lama 6 tahun. Sayangnya, belum ada data terkait penindakan terhadap penyebaran berita bohong atau hoaks ditingkat nasional setelah surat Telegaram Kapolri dikeluarkan.

Karo Penmas DivHumas Polri Brigjen Argo Yuwono ketika dikonfirmasi perihal tersebut pun mengatakan, jika masih mencari dan memeriksa soal jumlah kasus yang sudah terjadi selama pandemi COVID-19. "Di cek dulu ya," katanya.