100 Dokter Meninggal Akibat COVID-19, Epidemiolog: Kerugian Besar Bagi Indonesia
Ilustrasi dokter (Sasint/Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Sebanyak 100 dokter meninggal akibat COVID-19. Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menilai hal ini sangat merugikan Indonesia, karena saat ini jumlah dokter tidak terlalu banyak.

Dikutip dari akun Twitternya @Dikot38989316, dia menyebut berdasarkan data dari Bank Dunia saat ini jumlah dokter di Indonesia terendah kedua di Asia Tenggara yaitu sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk.

"Artinya, Indonesia hanya memiliki 4 dokter yang melayani 10.000 penduduk. Kehilangan 100 dokter = 250.000 penduduk tidak punya dokter," kata Dicky seperti dikutip dari akun Twitternya, Selasa, 1 September.

"Dengan kematian tenaga medis maka investasi SDM kesehatan Indonesia merugi besar," sambungnya.

Lebih lanjut, melalui pesan suara, Dicky menilai banyaknya korban jiwa dari klaster rumah sakit hingga klaster lainnya adalah bukti gagalnya pemerintah untuk mengendalikan transmisi penyebaran virus COVID-19 di tengah masyarakat. Kegagalan ini dapat terjadi jika pengujian di tengah masyarakat tidak dilakukan secara masif sesuai dengan rekomendasi World Health Organization.

Diketahui, berdasarkan standar WHO Indonesia seharusnya mampu melakukan pengujian sebanyak lebih dari 200 ribu orang tiap minggunya. Namun, hingga saat ini, Indonesia belum mampu memenuhi target tersebut dan hal ini diamini oleh Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito beberapa waktu yang lalu.

Wiku mengatakan, secara keseluruhan, Indonesia baru mampu memenuhi 35,6 persen target standar WHO tersebut.

Kembali ke Dicky, bila Indonesia tak mampu menjalankan pengujian dengan memenuhi standar WHO tersebut dan tak mampu menekan angka positivity rate maka yang terjadi angka kematian akan terus meningkat.

"Bukan hanya angka kematian tenaga kesehatan yang terus meningkat tapi juga angka kesehatan dan kematian secara umum di masyarakat akan meningkat. Karena banyak orang yang tidak terdeteksi dan orang ini menularkan kepada kelompok yang berisiko tinggi di masyarakat," ungkap Dicky.

Lebih lanjut dia menjelaskan, kematian tenaga kesehatan ini terjadi di banyak wilayah yang jumlah pengujiannya rendah dan positivity ratenya tinggi seperti Jawa Timur, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

"Bila ini kematian tidak dicegah, dimitigasi, diperbaiki dengan cakupan testing, tracing, dan perlindungan serta dukungan kepada tenaga medis maka kematian tenaga medis ini menghilangkan dan mengurangi keberhasilan yang disampaikan pemerintah tentang angka kesembuhan yang dianggap di atas rata-rata di dunia," ujarnya.

"Ini adalah satu ironi yang terjadi akibat kita tidak menempatkan strategi pengendalian utama untuk pandemi berupa testing, tracing, dan isolasi. Itu yang harusnya menjadi strategi andalan," tegas Dicky.

Sebelumnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta agar pemerintah berusaha keras melindungi tenaga kesehatan dari ancaman COVID-19 dan tak perlu menyalahkan pihak manapun.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih terkait terus bertambahnya jumlah tenaga kesehatan terutama dokter yang meninggal dunia, hingga mencapai angka 100 orang.

"Kita semua sebaiknya melakukan upaya semaksimal mungkin agar nakes terlindungi dengan baik tanpa mempersalahkan siapapun. Karena ini suasana pandemi yang serba darurat dan emergensi," kata Daeng saat dihubungi wartawan, Senin, 31 Agustus.