Percuma Panjang Jika Tak Keras: 'Sarkasme Mak Erot' yang Mengusik 'Letoynya' PSBB Jakarta
Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - "Diperpanjang, kalau enggak keras juga percuma," tertulis dalam sebuah ilustrasi gambar. Dalam gambar itu tampak sosok perempuan tua yang diberi keterangan "Mak Erot". Meme itu viral jadi sarkasme yang menyentil kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta jelang penerapan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat per Senin, 14 September.

Entah siapa pembuat meme di atas. Pun terkait darimana kutipan di atas bersumber. Yang jelas, narasi itu juga keluar dari mulut seksolog kondang, Dokter Boyke Dian Nugraha. Dalam acara Malam Malam NET TV, yang tayang Kamis, 10 September, Boyke diminta menanggapi rencana PSBB DKI Jakarta. Boyke mengatakan: PSBB harus diperpanjang, tapi harus dikerasin karena kalau panjang tanpa keras percuma.

Boyke barangkali tidak bicara dalam kapasitas seorang pakar ataupun otoritas. Namun, yang ia sampaikan jelas merupakan bentuk keresahan yang nyata. Keresahan yang bahkan juga disoroti epidemiolog, Syahrizal Syarif. Ia menilai sanksi sosial yang selama ini diterapkan Pemprov DKI jauh dari efektif. Menurutnya, dibutuhkan tindakan lebih keras untuk menghukum pelanggar protokol kesehatan.

"Enggak benar itu. Enggak berefek. DKI harus tegas. Misalnya denda Rp250 ribu, ya kenakan. Kalau perlu bisa naikin ke Rp500 ribu, misalnya (dengan sanksi) Rp250 ribu tetap melanggar ... Saya enggak begitu setuju sanksi sosial PSBB seperti itu. Kita dalam situasi darurat. Jelas ancamannya," kata dia, ditulis Kompas.com, Kamis, 10 September.

Pengawasan protokol kesehatan oleh polisi (Irfan Meidianto/VOI)

Syarif bahkan mengatakan bentuk sanksi sosial yang selama ini diterapkan adalah bukti bahwa Pemprov DKI masih main-main menegakkan aturan PSBB. Ironi, sebutnya. Sebab pertumbuhan kasus COVID-19 di Jakarta sejatinya telah mencapai taraf mengkhawatirkan.

"Dalam situasi seperti ini, masa kita masih main-main sanksinya. Main-mainnya, pelanggar masih disuruh nyanyi lagu kebangsaan, disuruh lari, disuruh cat trotoar. Itu omong kosong," kata Syarif.

Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi juga menyoroti langkah Pemprov DKI ke depan. Ia sepakat dengan penerapan kembali PSBB ketat. Namun, Edi mendorong segala efektivitas, termasuk soal pengenaan sanksi. Menurut Edi, Pemprov DKI tak bisa lagi menggunakan cara lama yang 'lembek'. Kini, tak ada lagi sosialisasi. Setiap pelanggaran harus diganjar sanksi setimpal ketentuan.

"Saya menekankan kepada Gubernur agar seluruh pengawasan diperketat. Sekarang sudah bukan lagi sosialisasi-sosialisasi tapi penindakan tegas ... Imbau soal COVID-19 kepada warga yang tegas. Begitu pun kepada warga, pertokoan, perkantoran, pengusaha yang melanggar, sanksi setegas-tegasnya," kata Prasetio kepada wartawan, Kamis, 10 September.

Sanksi progresif

Pemprov DKI sadar dengan mendesaknya penegakan sanksi pelanggaran protokol COVID-19. Sejak 7 September, Pemprov DKI mulai memberlakukan denda progresif bagi pelanggar PSBB. Pemprov DKI bahkan menggunakan aplikasi pencatat denda progresif bernama Jakarta Awasi Peraturan Daerah (JakAPD).

"Sudah mulai berjalan (denda progresif) karena aplikasinya kan sudah jalan. JakAPD, Jakarta Awasi Peraturan Daerah," ungkap Kepala Satpol PP DKI Jakarta Arifin kepada wartawan, Kamis, 10 September.

Sanksi progresif ini akan diberlakukan berdasar Pergub 79 Tahun 2020. Artinya, para pelanggar PSBB yang pernah disanksi sesuai landasan hukum sebelumnya, yakni Pergub 51 Tahun 2020 akan memulai dari nol. "Karena aturannya yang baru ini kan (Pergub) 79 dengan JakAPD. Yang sebelumnya (Pergub 51/2020) kan tidak berlaku" kata Arifin.

Infografis pelanggaran (Sumber: Pemprov DKI Jakarta)

Pergub 79/2020 sendiri mengatur denda progresif bagi perorangan dan perusahaan. Para pelanggar akan dikenai denda kelipatan Rp250 ribu apabila melakukan pelanggaran berulang. Denda progresif itu bisa dijatuhkan kepada seorang warga hingga nominal Rp1 juta jika terus-menerus melakukan pelanggaran.

Sementara, bagi perusahaan dendanya berkelipatan Rp25 juta apabila melakukan pengulangan melanggar protokol kesehatan. Denda untuk perusahaan bisa mencapai Rp150 juta apabila mengulang pelanggaran hingga tiga kali.

Pelanggaran di Jakarta begitu tinggi. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Minggu siang, 13 September mengumumkan, sejauh ini Pemprov DKI telah menindak 158 ribu orang atau badan yang melanggar protokol kesehatan. Dari penindakan itu, "denda yang terkumpul sudah sampai Rp4.000.333.000. Dan denda sekarang berjenjang. Pelanggaran pertama, pelanggaran kedua dendanya menjadi semakin tinggi," kata Anies.

Fokus Pemprov DKI

Secara prinsip, penerapan PSBB ketat mendatang tak memiliki perbedaan begitu banyak dengan PSBB ketat yang diterapkan pada awal kemunculan virus corona di Indonesia Maret lalu. Perbedaan mendasar, kata Anies adalah pengendalian penularan di sektor perkantoran.

"Saat ini kita menyaksikan justru kasus terbanyak dari kejadian-kejadian yang sekarang bermunculan adalah dari perkantoran. itulah sebabnya dalam PSBB mulai 14 September ini, fokus utama kita adalah pembatasan di arena perkantoran," kata Anies.

Infografis (Raga Granada/VOI)

Beberapa sektor perkantoran akan tetap diizinkan beroperasi dengan pembatasan kapasitas maksimal 50 persen pegawai. Sektor perkantoran itu adalah kantor perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional dalam menjalankan fungsi diplomatik dan konsuler serta fungsi lainnya; BUMN/BUMN yang turut serta dalam penanganan COVID-19 dan/atau dalam pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat; dan Organisasi kemasyarakatan lokal dan internasional yang bergerak pada sektor sosial dan/atan kebencanaan.

Selain penegakan sanksi, Pemprov DKI juga akan menggencarkan tracing dan tes. Bila ditemukan kasus positif pada lokasi kegiatan di atas, maka seluruh usaha dan kegiatan pada lokasi tersebut harus ditutup selama tiga hari operasi.

Upaya lainnya, Pemprov DKI juga akan kembali membatasi jumlah penumpang transportasi umum secara ketat. Kemudian, ganjil-genap untuk sementara juga akan ditiadakan. Tapi, bukan berarti masyarakat bisa bebas bepergian dengan kendaraan pribadi.

"Saat ini, kondisi darurat lebih darurat daripada awal wabah dahulu maka jangan keluar rumah bila tidak terpaksa. Tetap saja di rumah dan jangan keluar rumah dari Jakarta bila tidak ada kebutuhan yang mendesak," ucap Anies.