JAKARTA - Sinergitas antara pemerintah daerah dalam menangani pandemi COVID-19 kembali dinanti. Siang tadi, sejumlah kepala daerah di Jabodetabek menggelar rapat, membahas optimalisasi kebijakan PSBB yang akan kembali diterapkan DKI Jakarta. Sayang, muncul aroma glorifikasi konflik yang politis. Hal yang harusnya dihindari. Banyak alasan kenapa sinergitas antara pemerintah daerah patut dijaga. Salah satunya, lantaran pemerintah pusat tak lagi bisa diandalkan.
Mulai Senin, 14 September mendatang, Jakarta akan kembali menerapkan pembatasan sosial skala besar (PSBB). Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut tiga alasan yang mendasari keputusan tersebut. Tiga alasan yang dimaksud Anies adalah parameter angka yang menunjukkan betapa mengkhawatirkannya laju penularan virus corona di Ibu Kota.
"Dari tiga data, yaitu angka kematian, keterpakaian tempat tidur isolasi, keterpakaian ICU khusus COVID-19, menunjukkan bahwa situasi wabah di Jakarta ada dalam kondisi darurat," kata Anies di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Senin, 9 September.
Soal angka kematian, DKI mencatat rata-rata hingga 2,7 persen. Meski lebih rendah dari tingkat kematian nasional yang mencapai 4,1 persen dan global yang berkisar di 3,3 persen, secara absolut jumlah case fatality rate Jakarta terus meningkat.
"Tingkat kematian sejak pertengahan Agustus sampai dengan September menunjukkan tren yang meningkat. Ini adalah kondisi yang sangat tidak menggembirakan. Hal ini membuat angka pemakaman yang menggunakan protap COVID-19 juga meningkat," jelas Anies.
Alasan kedua, yakni keterpakaian tempat tidur perawatan COVID-19. Pemprov DKI khawatir lonjakan kasus tak dapat diimbangi kapasitas perawatan medis. Pemprov DKI bahkan menyebut, dengan laju penambahan kasus dan tanpa peningkatan kapasitas ranjang isolasi, Jakarta tak akan lagi mampu menampung pasien COVID-19 pada 17 September mendatang.
Ketiga, keterpakaian tempat tidur ICU khusus pasien COVID-19 bergejala berat. Menurut perhitungan Pemprov DKI, jika jumlah tidak ditambah, maka tempat tidur ICU tak bisa lagi menampung pasien pada 15 September mendatang.
"Jangka pendeknya, kita meningkatkan kapasitas. Tapi, jika tidak ada pembatasan ketat, maka ini hanya sekedar mengulur waktu. Dalam kurang dari satu bulan, rumah sakit akan kembali penuh," kata Anies.
Pemerintah daerah adalah harapan
Sebuah kabar yang beredar Jumat siang, 11 September memberi harapan. Ketika Gubernur DKI Jakarta Anies dan sejumlah kepala daerah di Bodetabek, termasuk Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Wali Kota Bogor Bima Arya menggelar rapat. Sinergi ini diperlukan. Sebuah survei menyebut penanganan pandemi oleh pemerintah daerah lebih baik ketimbang pemerintah pusat.
Survei yang digelar Indikator Politik Indonesia menghimpun penilaian responden terkait perbandingan penanganan COVID-19 oleh pemerintah daerah dan pusat. Hasilnya, hanya 36,8 persen kelompok elite yang menilai kinerja pemerintah pusat baik atau sangat baik dalam menangani wabah virus corona. Sementara, 28 persen responden menganggap biasa saja. Sisanya, 34,9 persen bahkan menilai penanganan COVID-19 oleh pemerintah pusat buruk atau sangat buruk.
Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi mengatakan nilai itu lebih rendah dibanding penilaian kelompok elite terkait penanganan pandemi oleh pemerintah provinsi (pemprov) yang mencapai nilai 49,1 persen. Jumlah responden itu memandang baik atau sangat baik penanganan COVID-19 oleh pemprov. IPI melibatkan kalangan spesifik dalam survei ini. Responden survei yang berjumlah 304 orang, dijelaskan Burhanuddin terdiri dari akademisi, redaktur media massa, pengamat kesehatan, organisasi profesi, hingga LSM di 20 kota se-Indonesia.
Penjelasan lebih lanjut merinci logika dari perspektif penelitian. Pemprov dipandang lebih responsif dan lebih peka terhadap krisis. Pemprov juga dianggap memiliki kedekatan komunikasi lebih baik dengan masyarakat. Selain itu, dalam mengoordinir aparat, lingkup kecil pemerintahan provinsi dianggap lebih efektif dan tepat sasaran.
"Ini temuan yang menurut saya penting buat pemerintah pusat. Kalau ditanyakan sekarang, pemerintah pusat kinerjanya di bawah pemerintah provinsi menurut elite," katanya, dikutip dari VOA Indonesia, Jumat, 11 September.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio melengkapi pandangan dari survei ini. Ia mengatakan, dalam praktik ideal, pemerintah di daerah bergerak dengan komando dari pusat. Pemerintah daerah, bagaimana pun hanya bisa bergerak dengan restu dari pemerintah pusat. Namun, menurut Agus, tumpang tindih aturan di pusat juga yang kerap jadi kendala dalam kebijakan-kebijakan pemerintah di daerah.
"Sekarang kan pemda harus mengikuti semua peraturan, yang buat (aturan) pemerintah pusat. Hanya dia melengkapi dengan perda, dengan peraturan kepala daerahnya. Nah, yang menjadi persoalan kan di pusatnya itu kan peraturannya tumpang tindih," kata Agus kepada VOI, Jumat, 9 September.
Distraksi politis
Kabar melegakan tentang rapat kepala daerah Jabodetabek pada Jumat siang berubah jadi tak menyenangkan. Usai rapat, Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan kepada media massa bahwa kebijakan PSBB yang diwacanakan Jakarta tak jelas. Pernyataan Bima Arya ramai diperbincangkan dan jadi trending topic di Twitter.
Pengamat politik dan Direktur Eksekutif Media Survei Nasional (MEDIAN), Rico Marbun mengatakan Bima Arya seharusnya dapat menahan diri, menghindari pernyataan-pernyataan yang dapat menimbulkan distraksi politis. Jika ingin berbaik sangka, sebutlah Bima Arya tak bermaksud politis, namun pernyataannya terlanjur bergulir jadi perkara politis. Sinergitas yang harusnya dibangun antara kepala daerah semakin terancam. Dan Rico melihat peran buzzer di sini.
"Harusnya (para kepala daerah) berhenti saling serang. Dan dalam konteks yang lebih kuat kan kita sudah lihat contohnya di Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya. Jangam sampai berulang antara DKI versus wilayah sekitar," kata Rico kepada VOI, Jumat, 9 September.
"Buzzer kan tidak harus bayaran. Ada juga simpatisan. Sikap mendiamkan diri yang dilakukan oleh para idola buzzer kan jadi semacam membiarkan," tambah Rico.
Memang, tak mudah menghindari politisasi. Dalam situasi menjelang pilkada, terutama. Namun, kewarasan harus tetap dijaga. Dimensi krisis kesehatan COVID-19 sudah terlalu sulit. Menambahnya dengan bumbu politis hanya akan memperburuk segala kesulitan. "Yang mati nanti rakyat," kata Rico.
Lagipula, secara hitung-hitungan politis, memicu bara konflik di tengah situasi genting berpotensi memicu antipati terhadap nama-nama kepala daerah. Situasi yang buruk sebagai modal politik mereka di masa mendatang. Menumbuhkan kepercayaan rakyat adalah hal penting saat ini. Dan hal itu tak dapat dibangun lewat serangan-serangan terhadap saingan politik, apalagi pembingkaian narasi semu lewat pengerahan buzzer.
BACA JUGA:
"Yang bisa dilakukan dalam konteks saat ini agar tidak menjadi ajang kompetisi politik, ya setiap kebijakan perlu dikomunikasikan secara terbuka (dengan) latar belakang ilmiah. Dan masing-masing pihak harus bisa meredam buzzer-buzzer pendukung yang secara alami akan saling tarung di medsos," kata Rico.
Kini, dengan segala kenyataan bahwa para kepala daerah memegang peran vital dalam penanganan krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19, sinergitas wajib diperkuat. Kepala daerah harus mampu bergerak dalam irama yang sama. Tak berarti menerapkan kebijakan yang sama, namun untuk menunjukkan bahwa harapan itu masih ada.
"Sebaiknya sering-seringlah para kepala daerah kumpul, rapat bersama dan buat join statement alias statement bersama. Jangan buat sendiri-sendiri, di luar yang bisa diartikan saling berantem," kata Rico.