Kisah Perjuangan Kartini: Kandas Bersekolah di Belanda dan Bangun Sekolah untuk Anak-anak Perempuan

YOGYAKARTA - Raden Ajeng Kartini Djojo Adiningrat dijadikan simbol perjuangan emansipasi wanita Indonesia hingga saat ini. Tepat setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memeringati Hari Kartini.

RA Kartini yang dikenal cerdas dan berwawasan luas diketahui sempat berkeinginan melanjutkan pendidikan di Belanda. Di penghujung usia, Kartini juga mewujudkan salah satu cita-citanya, yakni membangun sebuah sekolah di Rembang.

Langkah itu dilakukan atas dukungan sang suami. Dari kisah yang diriwayatkan, RA Kartini sempat memiliki keinginan melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pada akhir usianya, cita-cita Kartini terwujud.

Sebuah sekolah di Rembang berhasil didirikannya dengan dukungan dan bantuan sang suami, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan Bupati Rembang. Bagaimana perjuangan Kartini yang sebenarnya?

Dilansir dari buku Sisi Lain Kartini yang diterbitkan dalam Pameran Temporer Sisi Lain Kartini oleh Museum Kebangkitan Nasional oleh Kemendikbud RI, berikut kisah perjuangan Raden Ayu dalam hal pendidikan.

Surat sahabat pena hingga berdirinya sekolah

Kartini memunyai keinginan melanjutkan pendidikannya di Belanda. Tekadnya tersebut merupakan bentuk kemajuan berpikir dan juga sebagai api semangatnya untuk melepaskan diri dari belenggu tradisi yang mengekang kaum perempuan pada waktu itu.

Selain itu, kemampuan bahasa Belanda RA Kartini terus berkembang sejak ia dipingit pada usia 12 tahun. Pasalnya, Kartini sering membaca dan mengirim surat kepada sahabat-sahabatnya yang berasal dari Belanda.

Bacaan-bacaan Kartini didapatkannya dari salah seorang sahabatnya, Rosa Abendanon. Dari aktivitas surat-menyurat dan asupan referensi bacaan itulah semangat perubahan dan berpikir maju seperti perempuan Eropa lahir dari diri Kartini.

Kartini juga pernah mengirim surat kepada Nyonya Ovink Soer, dalam surat tersebut dituliskannya keinginan untuk mencari beasiswa ke Negeri Belanda. Secara terang-terangan kartini menyatakan cita-cita dirinya dan beberapa sahabatnya yang sejalan untuk menjadi pelopor dan cahaya penyadaran bagi kaumnya.

Dengan surat itu, ia memohon kepada Ovink Soer untuk mengusahakan dirinya berangkat ke Belanda. Sayangnya, harapan dan tekad Kartini harus kandas, sebab kedua orang tuanya tidak memberikan izin. Setelah keinginan ke Belanda ditentang, Ibu Kartini mendapat kesempatan mengenyam pendidikan sebagai guru.

Hal itu didukung dengan diumumkannya politik kolonial baru oleh pemerintah Belanda pada September 1901. Namun, itu bukan akhir dari harapan Kartini. Adik kandung dari Pangeran Jawa RM Sosrokartono ini meraih kesempatan untuk mendapatkan pendidikan sebagai guru.

Hal tersebut juga sejalan dengan pemberlakuan politik kolonial baru Pemerintah Belanda pada September 1901. Pada saat itu, Ratu Wilhelmina menggadang pemberlakuan politik etis yang mengharuskan pemerintah menyejahterakan masyarakat Hindia Belanda.

Pada 8 Agustus 1900, sebuah harapan mulai terlihat; J.H. Abendanon, yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Departemen Pendidikan, Kerajinan dan Agama, mengunjungi Kabupaten Jepara. Kedatangannya bertujuan untuk menyosialisasikan rencana pendirian kostschool (sekolah asrama) untuk gadis-gadis kalangan bangsawan.

Namun, hal tersebut mengalami penolakan oleh sebagian besar bupati. Mereka menggunakan alasan tradisi yang melarang anak perempuan dididik di luar rumah.

Pada Juni 1903, Kartini dan Roekmini, saudaranya, membulatkan tekad untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan di pendopo Kabupaten Jepara. Pelajaran yang diberikan untuk murid-murid di sana antara lain keterampilan membaca, menggambar, menulis, memasak, tata krama, sopan santun, dan kerajinan tangan.

Ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI.id, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!

MEMORI Lainnya