Sejarah Gerakan Non Blok: Perjuangan Politik Melawan Dominasi Blok Barat dan Timur

JAKARTA - Kehidupan sebagai negara baru merdeka dan akan merdeka tak mudah. Mereka terus dibayangi oleh dua blok besar dunia. Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Blok Timur dipimpin oleh Uni Soviet.

Kondisi itu membuat segenap negara Asia-Afrika bersatu. Mereka menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA). Agenda perubahan didengungkan. Hasilnya, mereka bersepakat tak memihak dua blok besar. Gerakan Non Blok -- negara netral pun terlahir karenanya.

Upaya memerdekakan suatu bangsa tak bisa sembarangan. Perjuangannya tak melulu dilakukan dari dalam negeri saja, tapi butuh dukungan luar negeri. Pengalaman itu diamini oleh tokoh bangsa Soekarno.

Bung Karno merasa Indonesia merdeka bukan saja dengan angkat senjata. Diplomasi-diplomasi luar negeri juga jadi andalan. Urusan sulitnya mencari negara yang mau mengakui Indonesia sebagai negara merdeka sudah dirasakan.

Semuanya butuh pendekatan dan kerja keras. Pengalaman itu jadi pelajaran berharga. Bung Karno pun tak ingin penjajahan terus hadir di muka bumi. Bung Karno lalu membawa Indonesia bersama negara Asia dan Afrika menggagas hajatan besar untuk menghapus penjajahan dari muka bumi.

Suasana pertemuan negara netral Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I di Beograd, Yugoslavia. (Wikimedia Commons)

Konfrensi Asia-Afrika (KAA), namanya. Konferensi itu digelar di Bandung pada 18-24 April 1955. Perhelatan itu dihadiri oleh 29 negara merdeka dan akan merdeka dari benua Asia dan Afrika. Partisipasi itu tak dapat dianggap remeh.

Ada pesan penting yang dihadirkan dalam KAA. Pesan itu adalah persatuan melawan kolonialisme dan imprealisme. Negara-negara yang hadir memang menyadari bahwa mereka bukan negara besar. Namun, kala mereka bersatu tiada yang tak bisa digapai.

KAA pun menghasilkan kesepakatan bersama bernama Dasasila Bandung. Isinya mengungkap komitmen peserta KAA terhadap masa depan pergerakan negara Asia-Afrika. Salah satu hal yang paling penting adalah menjunjung tinggi keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional.

"Kalau barongsai dari China bekerja sama dengan lembu Nandi dari India, dengan Spinx dari Mesir dengan burung merak dari Burma, dengan gajah putih dari Siam, dengan ular hidra dari Vietnam, dengan harimau dari Filipina dan dengan banteng dari Indonesia, maka pasti hancur kolonialisme internasionalisme," pekik Soekarno sebagaimana dikutip Roeslan Abdulgani dalam buku The Bandung Connection (1981).

Gerakan Non Blok

Peran besar KAA nyatanya membawa artian penting. Politik internasional yang kala itu telah membagi dunia jadi dua kelompok negara besar Blok Barat dan Blok Timur membuat negara di Benua Asia-Afrika bergerak. Banyak negara merasa tak ikut kedua blok. Mereka netral.

Kondisi itu memunculkan narasi yang sama dengan negara-negara lainnya di Eropa Timur. Mereka bersikap netral dan ingin menjunjung tinggi keadilan. Mereka menentang semua kejahatan internasional, dari kolonialisme hingga agresi militer.

Kepedulian pun muncul. Lima pemimpin negara: Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru, Presiden Ghana, Kwame Nkrumah, Presiden Indonesia, Soekarno, Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, dan Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito berinsiatif membentuk gerakan negara netral.

Keinginan itu tercapai dengan hadirkan pertemuan negera netral Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I di di Beogard, Yugoslavia pada 1 September 1961. Gerakan Non Blok pun lahir. Gerakan yang diikuti 20-an negara (kini: 120-an negara) bak penetral dari blok barat dan blok timur. Banyak juga yang beranggapan bahwa Gerakan Non Blok adalah panggung politik dari negara dunia ketiga.

Kehadiran Gerakan Non Blok banyak membantu negara-negara anggotanya andil dalam pentas internasional. Namun, pada pelaksanaannya tiada negara yang benar-benar netral. Politik internasional bak mengharuskan mereka memilih dekat kepada salah satu blok: Timur atau Barat.

Indonesia misalnya. Indonesia awalnya condong ke Blok Timur Uni Soviet di era Orde Lama. Namun, di era Orde Baru Indonesia memilih condong kepada Blok Barat. Kondisi itu terus berlangsung. Eksistensi Gerakan Non Blok kian melemah seiring berakhirnya Perang Dingin dan hilangnya istilah Blok Timur dan Blok Barat.

“Meyakini soliditas perekonomian negerinya, barangkali karena meremehkan ciri artifisial pertumbuhan ekonomi yang memang mengesankan meski kebanyakan diraih berkat bantuan internasional, Soeharto berusaha memanfaatkan perubahan situasi menyusul berakhirnya Perang Dingin.”

“Ia membawa Indonesia mencari kedudukan di pentas internasional. Lenyapnya blok-blok dunia mengakhiri suatu masa yang sesuai konvergensi kepentingannya telah mendudukkan Indonesia di kubu blok Barat, dan membuka pintu bagi aktifnya kembali Indonesia di tubuh Gerakan Non Blok,” ujar Remy Madinier dalam buku Revolusi Tak Kunjung Selesai (2022).