JAKARTA – Setelah tertunda di era pemerintahan Joko Widodo, Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akhirnya resmi menyatakan ketertarikannya untuk bergabung ke dalam organisasi atau blok ekonomi BRICS.
BRICS—singkatan dari lima negara berkembang yang berpengaruh yakni Brasil, Rusia, India, China, dan South Africa (Afrika Selatan)—sendiri pada hakekatnya bertujuan memperkuat suara negara-negara berkembang di hadapan dominasi-dominasi negara maju alias Barat. Selain kelima negara pendiri itu, pada Januari 2024 lalu, Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab memutuskan bergabung ke dalam BRICS.
Indonesia sendiri sebenarnya sudah mendapatkan tawaran bergabung dari BRICS pada tahun 2023. Tapi, Joko Widodo sebagai presiden saat itu memutuskan mengkaji terlebih dahulu manfaatnya dan menyatakan Indonesia tidak ingin tergesa-gesa untuk menerima tawaran tersebut.
Ketertarikan Indonesia di era Prabowo Subianto untuk bergabung ke BRICS terungkap usai Menteri Luar Negeri, Sugiono menyampaikan surat ketertarikan atau expression of interest dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia pada Kamis, 24 Oktober 2024.
BACA JUGA:
Dalam keterangan resminya, menlu menegaskan bahwa niat Indonesia bergabung ke BRICS bukan bermakna “ikut kubu tertentu”, tapi merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Dia menjelaskan, ketertarikan bergabung ke BRICS didasari beberapa pertimbangan. Pertama, rasa solidaritas dan komitmen terhadap perdamaian global, terutama krisis yang terjadi di Palestina dan Lebanon.
“Indonesia tidak dapat berdiam diri saat kekejaman ini terus berlanjut tanpa ada yang bertanggung jawab. Indonesia masih punya sikap yang sama, menyerukan gencatan di Gaza dan mewujudkan perdamaian di kawasan secara permanen,” ujar Sugiono.
Kedua, Indonesia bersama BRICS ingin menegakkan hak atas pembangunan berkelanjutan, di mana negara-negara berkembang membutuhkan ruang kebijakan, sementara negara maju harus memenuhi komitmen mereka.
Ketiga, menjadi kekuatan untuk persatuan dan solidaritas di antara negara-negara berkembang. “Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif. Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum,” tegas Sugiono.
“Kita juga melihat prioritas BRICS selaras dengan program kerja Kabinet Merah Putih, antara lain terkait ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan ataupun pemajuan sumber daya manusia,” sambungnya.
BRICS Merupakan Transformasi KAA dan GNB Melawan Hegemoni AS
Lantas, apa sebenarnya BRICS? Pada tahun 2001, ekonom Goldman Sachs, Jim O'Neill, menggunakan singkatan BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) dalam laporan yang memprediksi bahwa empat negara itu akan menjadi kekuatan ekonomi utama pada tahun 2050 mendatang.
Brasil, Rusia, India, dan China kemudian mengadakan KTT pertama mereka di Yekaterinburg, Rusia pada tahun 2009. Afrika Selatan kemudian bergabung dengan BRIC pada tahun 2010 dan mulai berpartisipasi secara penuh dalam KTT pada tahun 2011—sehingga namanya berubah menjadi BRICS.
Pengamat Hubungan Internasional, Musa Maliki menilai, BRICS saat ini seolah menjadi transformasi perlawanan baru terhadap hegemoni Barat sejak Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok yang telah mati suri. Karena itu, tujuan Indonesia bergabung ke BRICS disebut sebagai upaya Presiden Prabowo Subianto menghindari ketergantungan dengan negara mana pun— khususnya negara-negara maju.
“BRICS adalah semangat independensi yang terdiri dari negara-negara Selatan untuk mengimbangi dominasi Barat atau hegemoni AS. Dengan kata lain, BRICS merupakan gerakan atau kerja sama antarnegara Selatan-Selatan (berkembang) untuk maju bersama sama saling tolong menolong dalam menghadapi banyak tantangan krisis global,” terangnya.
Menurut dia, ada beberapa manfaat konkret yang akan diperoleh apabila Indonesia bergabung dengan BRICS—yang pertama adalah akses arus perdagangan yang intens untuk menghindari krisis global. Kedua, embargo ekonomi negara maju tidak akan mempan terhadap negara-negara BRICS sehingga perekonomian kuat. “Sirkulasi ekonomi politik dunia menjadi lebih berimbang antara negara Utara dan Selatan sehingga perekonomian tidak berputar sepuluh persen di negara maju saja,” tambah Musa.
Dia juga menyatakan, keinginan bergabung ke BRICS menunjukkan bila pemerintahan Prabowo Subianto menunda niat untuk bergabung ke Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) atau Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi yang diajukan pada April 2024. Sebab, negara yang ingin menjadi anggota OECD harus diterima dan disetujui oleh total 38 semua anggota OECD yang sudah ada—termasuk Israel.
Selain penegasan Indonesia untuk tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, terutama dengan masih berlangsungnya “situasi kekejaman Israel di Gaza”, OECD dipandang sebagai kelompok “negara-negara yang kini masih kuat menggerakkan ekonomi global sepuluh persen.
“Saya rasa Prabowo sudah yakin dengan BRICS dibandingkan bergabung dengan OECD, karena kepentingan nasional Indonesia lebih pas ke BRICS, baik itu dari sisi ekonomi, politik, dan sosial. BRICS bagi Indonesia adalah kendaraan baru yang relevan di saat krisis global dunia Barat,” kata Musa.
Dia menegaskan, bergabungnya Indonesia dengan BRICS tidak bertentangan dengan politik bebas aktif. Pasalnya, BRICS justru merupakan semangat independensi yang terdiri atas negara-negara Selatan untuk mengimbangi dominasi Barat atau hegemoni AS. “Indonesia juga ikut andil sebagai anggota di 215 organisasi internasional. Masa gara-gara masuk BRICS lalu Indonesia tidak menjalankan politik bebas aktif,” tukasnya.
Indonesia Harus Hindari Ketergantungan Kepada China
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indostrategic, Ahmad Khoirul Umam berpendapat, niat Indonesia bergabung ke BRICS merupakan salah satu bentuk diplomasi jalan tengah dan sikap yang lebih inklusif di dunia internasional setelah sebelumnya telah mengurus aksesi ke Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Meski demikian, Indonesia juga harus siap menghadapi dampak yang akan muncul jika resmi bergabung dengan BRICS, termasuk ketegangan hubungan dengan negara barat, seperti AS dan sekutunya. “Keberpihakan pada aliansi internasional yang non-barat akan menghasilkan karakter pola relasi yang agak penuh dengan kecurigaan. Indonesia bisa menghadapi ketegangan dengan negara-negara seperti AS atau Australia yang bisa disebut sebagai security sheriff di wilayah Pasifik,” imbuhnya.
Menurut dia, Indonesia harus mampu memanfaatkan kesempatan bergabung dengan BRICS untuk meningkatkan pembangunan negara. Selain itu, dengan bergabung dengan BRICS akan menambah akses Indonesia dalam pendanaan untuk infrastruktur. Sebab, BRICS memiliki lembaga pendanaan sendiri bernama New Development Bank (NDB) yang menyediakan alternatif pembiayaan infrastruktur.
“BRICS bisa menjadi salah satu alternatif pendanaan infrastruktur untuk Indonesia yang persyaratannya tak seketat OECD. Ini bisa menggenjot agenda pembangunan infrastruktur Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto,” ungkapnya.
Hal terpenting, lanjut Umam, dengan menjadi anggota BRICS, Indonesia akan memiliki posisi tawar di dunia internasional, terutama dari sisi ekonomi. Terlebih, negara-negara anggota BRICS memiliki pengaruh yang lebih besar terkait arus investasi dan perdagangan dunia.
Meski demikian, dia mengingatkan bahwa Indonesia harus konsisten menerapkan diplomasi jalan tengah dengan tidak terlalu condong ke barat maupun timur. Selain itu, Indonesia juga harus mengantisipasi potensi risiko ketergantungan ekonomi terhadap China, mengingat Negeri Tirai Bambu itu merupakan negara anggota BRICS dengan kekuatan ekonomi terbesar.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Ahmad Heryawan mengatakan, pada prinsipnya Komisi I DPR RI mendukung rencana bergabungnya Indonesia ke BRICS. Dia menilai, dengan bergabung ke BRICS akan mengokohkan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif selain dampak ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Politisi dari Fraksi PKS ini juga berharap agar Indonesia bersama BRICS bisa menjadi katalisator bagi negara-negara yang peduli terhadap terciptanya stabilitas kawasan dengan terus menyuarakan dan mendesak di forum PBB untuk gencatan senjata di Palestina dan menerima Palestina sebagai anggota penuh PBB.
“Harapan besar kita dengan bergabung dalam BRICS, Indonesia dapat menjadi katalisator negara-negara lain khususnya negara tergabung dalam BRICS untuk menyerukan forum PBB dan negara-negara pemegang hak veto pendukung Israel agar mendesak genjatan senjata Israel dan Palestina serta menerima Palestina sebagai anggota penuh PBB,” terang Aher.
Adapun peneliti bidang politik BRIN, Dewi Fortuna Anwar menilai, bergabungnya Indonesia ke BRICS membuktikan bahwa Prabowo Subianto akan menjadi presiden yang memainkan peran aktif dalam pembentukan dan penerapan kebijakan luar negeri Indonesia selama masa kepemimpinannya, termasuk kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan non-blok dalam merespon dinamika kawasan dan internasional.
“Dibanding dengan prioritas kebijakan luar negeri era Jokowi yang terkesan lebih transaksional dan menyempit karena fokus pada ekonomi, kebijakan luar negeri Prabowo diperkirakan akan lebih luas dan lebih mendalam di sektor SDM,” katanya.