Bicara Cawe-cawe di Pilkada 2024, PDIP Minta Kapolri Listyo Sigit Dicopot

JAKARTA - Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Sitorus meminta agar Presiden Prabowo Subianto mencopot Kapolri Jenderal Listyo Sigit dari jabatannya. Sebab, PDIP menemukan adanya intervensi atau cawe-cawe dari aparat kepolisian di Pilkada 2024.

Deddy mengungkapkan, pemerintah harus melakukan evaluasi secara mendalam terhadap keterlibatan Listyo yang menyalahgunakan wewenang aparat di pemilihan kepala daerah. Sebab, hal ini bisa mencoreng nama baik pemerintahan Prabowo.

"Itu harus dimulai dengan mengganti Listyo Sigit sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan melakukan evaluasi yang mendalam terhadap kementerian dalam negeri. Dengan cara itu, kami bisa melanjutkan partisipasi yang positif dalam masa kepresidenan Prabowo," kata Deddy di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 28 November.

Selain itu, Deddy menyebut PDIP tengah mendalami usulan agar Polri diposisikan kembali di bawah kendali Panglima TNI atau dikembalikan di bawah Kementerian Dalam Negeri.

"Tugas polisi, mungkin jika nanti DPR bersama-sama bisa menyetujui, menjaga lalu lintas kita supaya aman dan lancar. Berpatroli keliling dari rumah ke rumah agar masyarakat tidur dengan nyenyak. Ada bagian reserse yang bertugas mengusut, mengurai, melakukan, menyelesaikan kasus-kasus kejahatan untuk sampai ke pengadilan. Di luar itu, saya kira tidak perlu lagi," urai Deddy.

Berkenaan dengan itu, Deddy mengungkap saat ini ada istilah budaya baru yang berkembang dalam sistem pemilihan umum di Indonesia. PDIP menyebutnya sebagai budaya Jokowisme.

Deddy menyebut, istilah Jokowisme merupakan upaya dari Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, sejak masih menjabat Presiden hingga tak lagi menjabat, untuk mendesain pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah sesuai kepentingannya.

Dalam budaya Jokowisme, Deddy mengungkapkan Jokowi menggerakkan instrumen aparat kepolisian demi bisa menjalankan sisi gelap demokrasi.

"Apa instrumen yang dipakai dengan politik pemilu ala Jokowisme ini? Tentu sesuatu yang sangat besar, berjaringan kuat, punya kemampuan untuk melakukan penggalangan dana, penggalangan kelompok-kelompok tertentu yang sudah menjadi pengetahuan publik. Sekarang kita mengenal 'partai cokelat'," jelas Deddy.

Lebih lanjut, Deddy menekankan, "partai cokelat" sebagai instrumen politik yang digerakkan Jokowi memang tidak seluruhnya mencakup aparat kepolisian dan hanya oknum-oknum. Namun, ia menegaskan pergerakan ini sudah bersifat garis komando.

"Saya kira pemegang kuncinya adalah (Kapolri) Listyo Sigit. Beliau bertanggung jawab terhadap institusi yang dia kendalikan, yang dia pimpin. Yang ternyata merupakan bagian dari kerusakan demokrasi kita. Ini tanggung jawab yang saya kira harus dibebani dipikul sepanjang sejarah nanti," jelas Deddy.