JAKARTA - Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Sitorus mengakui saat ini Jawa Tengah (Jateng) tak lagi menjadi "kandang banteng". Dalam artian, setelah puluhan tahun mayoritas masyarakat Jateng menjadi basis massa PDIP, kini menjadi objek penyalahgunaan bantuan dan intervensi aparat kepolisian.
Hal tersebut terlihat dari hasil perhitungan cepat atau quick count Pilkada 2024 Jateng. Di mana, pasangan calon usungan PDIP yakni Andika Perkasa-Hendrar Prihadi yang kalah dengan pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin.
"Sekarang rekan-rekan semua mulai hari ini bisa menyebut Jawa Tengah bukan sebagai kandang banteng lagi, tapi sebagai kandang bansos dan parcok (partai cokelat). Jadi jangan lagi sebut Jawa Tengah sebagai kandang banteng, tetapi sebagai kandang bansos dan parcok," kata Deddy di kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 28 November.
Menurut Anggota Komisi II DPR RI ini, kekalahkan Andika-Hendi teejadi akibat adanya pergerakan instrumen kepolisian lewat politisasi bantuan sosial (bansos), hingga intimidasi warga khususnya kepala desa.
Meskipun begitu, Deddy mengklaim, kandang banteng kini bergeser ke DKI Jakarta. Sebab, pasangan Pramono Anung-Rano Karno diklaim berhasil menang satu putaran dengan perolehan suara 50,07 persen.
"Kami memenangkan DKI Jakarta dari Jawa Tengah, PDI Perjuangan kandangnya sekarang di Ibu kota Jakarta. Jadi jangan ada lagi pertanyaan soal kandang banteng," ucap Deddy.
Dalam kesempatan itu, Deddy mengungkap saat ini ada istilah budaya baru yang berkembang dalam sistem pemilihan umum di Indonesia. PDIP menyebutnya sebagai budaya Jokowisme.
BACA JUGA:
Deddy menyebut, istilah Jokowisme merupakan upaya dari Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, sejak masih menjabat Presiden hingga tak lagi menjabat, untuk mendesain pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah sesuai kepentingannya.
Dalam budaya Jokowisme, Deddy mengungkapkan Jokowi menggerakkan instrumen aparat kepolisian demi bisa menjalankan sisi gelap demokrasi.
"Apa instrumen yang dipakai dengan politik pemilu ala Jokowisme ini? Tentu sesuatu yang sangat besar, berjaringan kuat, punya kemampuan untuk melakukan penggalangan dana, penggalangan kelompok-kelompok tertentu yang sudah menjadi pengetahuan publik. Sekarang kita mengenal 'Partai Cokelat'," jelas Deddy.
Lebih lanjut, Deddy menekankan, "Partai Cokelat" sebagai instrumen politik yang digerakkan Jokowi memang tidak seluruhnya mencakup aparat kepolisian dan hanya oknum-oknum. Namun, ia menegaskan pergerakan ini sudah bersifat garis komando.
"Saya kira pemegang kuncinya adalah (Kapolri) Listyo Sigit. Beliau bertanggung jawab terhadap institusi yang dia kendalikan, yang dia pimpin. Yang ternyata merupakan bagian dari kerusakan demokrasi kita. Ini tanggung jawab yang saya kira harus dibebani dipikul sepanjang sejarah nanti," jelas Deddy.