Viral Joki Strava Muncul karena Literasi tentang Tujuan Olahraga Rendah

JAKARTA – Menurut sejumlah penelitian, olahraga dapat membantu seseorang menjadi bugar, meningkatkan fungsi kognitif, mengurangi  berat badan, dan menurunkan risiko berbagai penyakit non-menular. Namun, tren FOMO dalam berolahraga justru bisa memberikan dampak negatif.

Di era media sosial yang makin meningkat, orang sering terperangkap dalam perasaan takut ketinggalan atau istilah populernya FOMO (fear of missing out). Fenomena ini merambah ke hampir semua kehidupan, mulai dari tren fashion, kuliner, hingga acara sosial.

Belakangan, tren FOMO juga menjangkiti dunia olahraga. Meski FOMO dalam olahraga memiliki nilai positif, karena dapat mendorong orang berolahraga, tetapi perasaan takut ketinggalan ini justru bisa berdampak pada kesehatan mental.

Kemunculan Joki Strava

Gaya hidup sehat dengan berolahraga belakangan menjadi tren, bahkan setelah pandemi COVID-19 berakhir. Aktivitas fisik seperti lari dan bersepeda termasuk di antara olahraga yang populer seusai pandemi. Olahraga lari misalnya, sekarang ini ada segudang ajang lari yang digelar di hampir setiap akhir pekan di berbagai kota di Indonesia.

Di tengah ramainya tren olahraga, aplikasi Strava menjadi perhatian. Strava merupakan sebuah aplikasi berbasis data GPS (Global Positioning System) untuk melacak aktivitas fisik dan dapat dihubungkan dengan fitur jejaring sosial. Fitur utamanya untuk melacak hasil olahraga.

Dengan fitur-fitur yang memungkinkan pengguna untuk membagikan, melacak, dan membandingkan aktivitas mereka, Strava menginspirasi banyak orang untuk berolahraga lebih keras dan lebih sering.

Tapi di balik manfaatnya, tiba-tiba muncul fenomena yang meresahkan, yaitu joki aplikasi Strava. Joki Strava ini menyita atensi publik beberapa bulan terakhir. Joki Strava adalah individu yang secara curang meningkatkan catatan aktivitas mereka di aplikasi yang muncul pada 2019 ini.

Sejumlah pengguna aplikasi pelacak kebugaran Strava dalam paket keluarga. (ANTARA/HO-Strava/am)

Penawaran jasa joki Strava pertama kali muncul di media sosial X (dulunya bernama Twitter). Praktik ini bisa dilakukan dengan menggunakan kendaraan bermotor untuk menyelesaikan rute, memanipulasi data GPS, bahkan meminta orang lain berolahraga atas nama mereka.

Kata orang, mereka yang memanfaatkan joki Strava ini semata-mata hanya untuk mendapatkan pengakuan hingga memenangkan tantangan yang diadakan oleh Strava atau komunitasnya. Maka tak heran jika pengguna joki ini disebut sebagai kelompok orang FOMO dalam berolahraga.

Dokter Spesial Kedokteran Olahraga dr. Antonius Andi Kurniawan, Sp.KO juga menyoroti banyaknya orang berolahraga karena takut ketinggalan tren. Menurut dia, hal ini disebabkan rendahnya literasi tentang tujuan olahraga dan cara olahraga yang baik.

“Kalau melihat tren-tren dan segala macam memang meningkat cuman apakah tren yang meningkat itu benar-benar olahraga dengan tujuan kesehatan?” ujarnya.

“Atau olahraga hanya sekedar FOMO, mengejar status, dan postingan, dan segala macam. Menurut saya mereka masih sekedar ikut tren terbukti misalnya sebagai contoh paling gampang saja ada joki Strava dan itu cuma ada di Indonesia,” dr. Andi menambahkan.

Dampak Psikologis FOMO Berolahraga 

Tren FOMO dalam olahraga bisa saja berdampak positif, karena menimbulkan rasa penasaran pada orang-orang yang sebelumnya malas olahraga, kemudian menjadi aktif berolahraga.

Di sisi lain berolahraga karena FOMO apalagi sampai menggunakan jasa joki aplikasi justru melenceng dari tujuan olahraga itu sendiri.

Olahraga menurut sejumlah penelitian, diyakini dapat membantu seseorang menjadi lebih bugar, meningkatkan fungsi kognitif, mengurangi berat badan, dan menurunkan risiko berbagai penyakit non-menular seperti jantung, hipertensi, dan diabetes.

Ketika olahraga didasari karena perasaan takut tertinggal dari individu lainnya, alih-alih mendapatkan manfaatnya, yang didapat malah bisa berdampak pada kesehatan mental.

Konsultan psikolog Arnold Lukito tidak keberatan kehadiran joki Strava selama itu tidak tidak merugikan orang lain. Arnold justru menyoroti dampak psikologis buat pengguna joki Strava atau joki lainnya.

"Dampak buruknya ya terutama adalah mereka jadi terbiasa mengejar gratifikasi instan, yang tentunya bisa membawa berbagai dampak negatif," kata Arnold.

Arnold merinci dampak buruk yang dirasakan pengguna joki. Pertama akan membuat pengguna joki kurang disiplin dan tidak termotivasi. Kebiasaan menggunakan joki bisa membuat seseorang mudah tergoda kesenangan instan. Tak hanya itu, mereka juga mengabaikan tujuan jangka panjang.

Kedua, penggunaan joki bisa meningkatkan kecemasan dan stres makin tinggi. Karena terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan secara instan, seseorang akan lebih mudah merasa cemas dan stres saat menunggu sesuatu. Situasi ini bisa menyebabkan mereka mudah frustrasi dan tidak sabar.

Olahraga lari tengah populer di kalangan masyarakat akhir-akhir ini. (ANTARA/HO)

Terakhir, olahraga karena FOMO juga bisa memicu seseorang terbiasa mengejar gratifikasi instan sehingga lebih mudah membuat keputusan yang impulsif tanpa memikirkan konsekuensi. Ini bisa mengakibatkan berbagai masalah seperti keuangan, hubungan, hingga kesehatan.

Dokter Antonius Andi Kurniawan juga menambahkan dampak buruk olahraga hanya karena perasaan takut ketinggalan tren.

“Karena ketika kita FOMO, ketika tujuannya adalah untuk mendapatkan validasi, ketika tujuannya hanya untuk mendapatkan sebuah pride yang terjadi adalah kita akan cenderung berolahraga melebihi dari kapasitas dan kemampuan diri kita. Yang terjadi adalah tadi kalau misalnya lari justru malah heat strokecardiac arrest, kita bisa meninggal dunia,” pungkasnya.