Sejarah Panjang Pemberantasan Korupsi di Indonesia

JAKARTA - Pemberitaan kasus korupsi di Indonesia saat ini tengah dihebohkan dengan penemuan uang dan emas batangan di rumah mantan seorang pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar. Jumlah barang bukti yang ditemukan sangat mencengangkan, Rp920 milyar ditambah 51 kg emas batangan. Jika ditaksir, keseluruhan barang bukti tersebut bernilai lebih dari Rp1 triliun.

Penemuan barang bukti korupsi yang melibatkan Zarof Ricar menambah panjang daftar perilaku koruptif para pejabat negara. Padahal upaya memerangi korupsi di Indonesia sudah berjalan lebih dari 60 tahun, namun tak kunjung berhasil.

Pada 14 Agustus 1956, koran Indonesia Raya yang dikomandani Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar mengawali pengangkatan isu korupsi pejabat. Tokoh yang disasar adalah Roeslan Abdulgani, Menlu RI periode 1956-1957. Roeslan gagal ditangkap, dan kasus itu lenyap.

Roeslan Abdulgani, pejabat negara yang pertama kali dikaitkan dengan korupsi pada 14 Agustus 1956. (Wikimedia Commons) 

Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo ditengarai mengintervensi kasus tersebut, yang menyebabkan Roeslan lolos. Padahal Wakil Direktur Percetakan Negara, Lie Hok Thay yang lebih dahulu ditangkap sudah mengaku, bahwa dia memberikan Rp1,5 juta untuk Roeslan. Uang sogokan tersebut diambilkan dari biaya cetak kartu suara pemilu. Bukan Roeslan yang ditangkap, namun Koran Indonesia Raya yang justru dibredel.

Tak hanya itu, Rosihan dan Mochtar lantas dipenjara pada 1961 lantaran dituduh sebagai musuh politik Soekarno. Kegagalan pengungkapan kasus korupsi Roeslan Abdoelgani menjadi penanda, pengungkapan kasus korupsi di Indonesia memang njlimet.

Pembentukan Lembaga Antikorupsi

Berbagai upaya pernah dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Tak hanya lewat pengawasan masyarakat, pembentukan lembaga antirasuah sudah berusaha dilakukan sejak masa Orde Lama.

Setidaknya tiga kali pemerintan RI pada masa kepemimpinan Soekarno membentuk badan pemberantasan korupsi. Pertama adalah PARAN, yang merupakan singkatan Panitia Retooling Aparatur Negara. Lembaga ini dibentuk dengan dasar Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Undang-Undang Keadaan Bahaya.

Diketuai Jenderal AH Nasution, lembaga ini bertugas mencatat kekayaan pejabat negara. Tugas PARAN kurang lebih sama dengan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) pada masa sekarang. Namun dalam pelaksanaannya lembaga ini menghadapi resistensi dari para pejabat, sehingga mengalami kebuntuan.

Pemberitaan koran tentang Operasi Budhi pada 1963. (Instagram)

Kedua ada Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan). Dibentuk dengan dasar hukum Peraturan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1959 dan diketuai Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Bapekan berwenang mengawasi, meneliti, dan mengajukan usul kepada Presiden RI berkaitan dengan kegiatan aparatur negara.

Bapekan dibubarkan pada 5 Mei 1962 saat bertugas menangani pengaduan masyarakat, soal korupsi pembangunan kompleks sarana olahraga untuk Asian Games 1962 di Jakarta.

Ketiga ada Operasi Budhi. Lembaga ini dibentuk dengan dasar hukum Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun 1963, dan juga diketuai Jenderal AH Nasution. Operasi Budhi bertugas meneruskan kasus-kasus korupsi ke pengadilan, dengan menyasar lembaga-lembaga negara yang rawan korupsi.

Operasi Budhi berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp11 miliar. Namun umur lembaga ini hanya tiga bulan, dan dibubarkan karena dianggap mengusik kewibawaan Presiden Soekarno.

Setelah itu banyak lembaga-lembaga antikorupsi dibentuk, sejak era Orde Baru hingga Reformasi. Sebut saja Tim Pemberantasan Korupsi Kejaksaan Agung (1967), Komite Empat (1970), Operasi Tertib (1997), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPPN/1999), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK/2000), hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK/2002). Namun semua itu tak kunjung berhasil menghilangkan korupsi di Indonesia, yang seakan telah membudaya.

Kebijakan Setengah Hati

Menghukum koruptor tidak otomatis mengubah korupsi dari posisi tindakan berimbalan tinggi dengan risiko rendah, menjadi imbalan tinggi dengan risiko sangat besar. Seperti yang dituliskan Susan Rose-Ackerman dalam bukunya Corruption and Government: Causes, Consequences and Reform.

“Kebijakan antikorupsi tidak akan berguna jika tidak didukung oleh undang-undang kuat, yang mampu mencegah proses terjadinya korupsi. Badan antikorupsi seharusnya hanya menjadi salah satu bagian dari strategi besar, yang mencakup reformasi mendasar demi melengkapi program penegakan hukum,” tulis Rose-Ackerman, profesor ilmu politik dari Yale University, Amerika Serikat.

Senada dengan Rose-Ackerman, Adnan Topan Husodo yang merupakan mantan coordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan bahwa pemberantasan korupsi mengharuskan kontribusi sepenuh hati dari pemerintah, selain peran aktif dan serius dari masyarakat.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk pada 2002. (ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat)

“Korupsi merupakan persoalan multidimensi, sehingga KPK saja tidak cukup untuk secara utuh memberantas korupsi,” ujar Adnan, dikutip Antara.

Korupsi memang merupakan sebuah istilah modern, namun wujud dari tindakan semacam korupsi sudah terjadi sejak ribuan tahun silam. Korupsi sudah muncul sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Romawi, dan berkelanjutan hingga kini.

Korupsi merupakan benalu sosial, dan masalah besar yang dihadapi seluruh bangsa di dunia sejak dahulu kala. Perlu upaya keras dan berkelanjutan untuk mengubah pandangan generasi muda tentang sistem nilai yang diwarisi, sesuai dengan tuntutan yang muncul dalam setiap tahap perjalanan bangsa-bangsa di dunia. Terutama Bangsa Indonesia!