Bagikan:

JAKARTA - Mendagri Tito Karnavian menyebut capaian pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum efektif meski sudah ada upaya perbaikan integritas. Namun dia menyatakan pemerintah akan terus mengupayakan.

"Berbagai upaya pemberantasan korupsi melalui perbaikan integritas telah diinisiasi oleh berbagai kementerian lembaga dan pemerintah daerah. Namun, capaian upaya pemberantasan korupsi belum memiliki ukuran yang objektif," ujar Tito yang hadir secara virtual launching Survei Penilaian Integritas (SPI) 2021 "Mengukur Tingkat Korupsi di Indonesia" yang diselenggarakan KPK, Kamis, 23 Desember.

Tito menyatakan, pemerintah terus berkomitmen memberantas korupsi di Indonesia, sebagaiman telah diratifikasi dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi.

"Perpres ini bertujuan untuk menyusun kebijakan nasional yang memang fokus dalam sasaran pencegahan korupsi yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan pencegahan korupsi di Indonesia," jelas Tito.

Tito menerangkan, dalam beleid itu memerintahkan lima instansi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bappenas, Kemendagri, Kemenpan RB, dan Kantor Staf Presiden (KSP) bekerja sama memberantas tindakan rasuah di Indonesia. 

Kelima instansi tersebut, kata dia, harus memastikan tidak ada tindakan korupsi dalam sektor perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi.

Tito mengatakan, upaya pemberantasan korupsi juga ditegaskan lagi dalam Perpres Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Aturan itu meminta pemerintah dan stakeholder terkait menghilangkan tindakan korupsi untuk menjaga pembangunan negeri.

"Disebutkan bahwa salah satu tujuan global adalah menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua dan membangun kelembagaan efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan," terang Tito.

Selain itu, sambung Tito, Pemerintah juga sudah membentuk Survei Penilaian Integritas (SPI) untuk mendiagnosa titik rawan korupsi dalam kementerian dan lembaga. Serta digunakan sebagai alat untuk memantau resiko tindakan koruptif pada kementerian dan lembaga.

Harapannya, kata Tito, bisa meningkatkan kesadaran aparatur sipil negara (ASN) kementerian dan lembaga terhadap risiko tindakan rasuah dan perbaikan sistem antikorupsi. Setidaknya, ada tujuh variabel yang digunakan untuk menghitung integritas kementerian dan lembaga dalam survei tersebut.

"Yaitu informasi prosedur layanan, penanganan gratifikasi suap pemerasan, pengaturan tender, mark up hasil harga perkiraan sementara, potensi jual beli jabatan, intervensi eksternal untuk pemberian izin rekomendasi teknis, penyalahgunaan anggaran perjalanan dinas, serta efektivitas sosialisasi antikorupsi," kata Tito.

Tito menambahkan, indeks nasional berdasarkan SPI tahun ini mencapaii 72,4. Kementerian mendapatkan nilai 80,3 dari survei itu. Sementara itu, pemerintah provinsi mendapatkan angka 69,3. Dalam data SPI, pemerintah kota mendapatkan nilai 71,9. Lalu, pemerintah kabupaten mendapatkan nilai 70,9.

"Jika kita melihat hasil SPI tertinggi berada pada nilai Jawa sebesar 74,2 dan yang terendah adalah wilayah Papua sebesar 64,0," kata Tito.

Tito mengaku belum puas dengan angka tersebut. Karenanya, dia meminta seluruh kepala daerah dan pimpinan kementerian maupun lembaga untuk meningkatkan kinerja agar penilaian SPI tahun depan meningkat.

Dia juga meminta seluruh kepala daerah dan pimpinan kementerian maupun lembaga tidak menyepelekan hasil SPI. Sebab kata Tito, mulai tahun ini pemerintah akan menggunakan hasil SPI untuk penilaian tindakan korupsi di tiap wilayah di Indonesia.

"Mulai 2021 ini hasil dari indeks SPI akan digunakan sebagai salah satu komponen hasil dari indikator pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, dalam penilaian reformasi dan birokrasi," ujar Tito.