Sejarah Waterway: Taksi Air Solusi Kemacetan Jakarta Era Sutiyoso yang Gagal Total

JAKARTA - Kemacetan sudah jadi makanan sehari-hari warga Jakarta. Ketiadaan transportasi massal yang mempuni jadi muaranya. Pemerintah DKI Jakarta era Sutiyoso pun bergerak cepat. Gubernur DKI Jakarta era 1997-2007 mencoba menghadirkan busway dan waterway sebagai solusi kemacetan.

Busway memang jadi primadona. Transportasi air (waterway) juga tak kalah mendapatkan sambutan. Kala di darat macet, maka transportasi air jadi jawaban. Namun, kehadiran taksi air itu dianggap jauh dari kata efektif.

Citra Jakarta sebagai pusat ekonomi di Nusantara bukan pepesan kosong belaka. Orang-orang berdatangan ke Jakarta untuk mengais rejeki. Kondisi itu membuat orang yang mencari rezeki di Jakarta membludak.

Kemacetan pun jadi masalah yang muncul akibat kegiatan ekonomi skala besar. Pemandangan macet kerap disaksikan saban hari. Pemerintah DKI Jakarta jadi kelabakan. Namun, bukan berarti pemerintah tak mengambil tindakan. Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso mencoba bertindak nekat.

Transportasi air waterway era Sutiyoso. (ANTARA/Fanny Octavianus)

Segala macam proyek tranportasi publik digelorakan. Ia ingin semua hal supaya Jakarta bisa tak macet. Ia ingin membangun busway, subway, monorel, hingga waterway. Subway dan monorel jelas hanya berada ditataran angan-angan. Waktu dan dana jadi kendalanya.

Dua hal yang paling memungkinkan dilakukan oleh Sutiyoso adalah membangun busway dan waterway. Dua hal itu dianggap adalah simbol transportasi publik yang aman, nyaman, dan terjangkau. Pengaplikasiannya tak sesulit membangun subway atau monorel. Busway, misalnya.

Pengoperasian bus TransJakarta mencapai 10 kali lebih murah dibanding menggarap subway. Konsep busway pun dianggap bisa menjadi jawaban berpindahnya kebiasaan masyarakat dari membawa kendaraan pribadi ke transportasi publik.

Sutiyoso pun akhirnya meresmikan koridor pertama busway Blok M-Kota pada 2004. Target Sutiyoso ialah mencapai 10 koridor busway di bawah kepemimpinannya. Sutiyoso sekalian saja menghadirkan moda transportasi air. waterway, namanya.

Moda transportasi air itu diresmikan pada 2007. Ia menganggap kehadiran waterway dapat menjadi harapan baru membuat Jakarta tak lagi macet. Sekalipun jarak tempuh dan dermaganya masing terbatas.

“Sutiyoso juga belajar dari bawahannya di lingkungan Pemerintah Daerah DKI. Dan untuk memecahkan masalah Jakarta, ia mengundang para pakar. Sutiyoso mengungkap: Setelah saya mengerti, saya panggil bawahan, lalu menyuruh mereka melaksanakan masukan dari para pakar itu. Jadilah konsep three-in-one, busway, monorel, waterway, dan kanal banjir timur,” ujar Yophiandi dan kawan-kawan dalam tulisannya di Koran Tempo berjudul Senja di Takhta Jakarta (2007).

Penuh Masalah

Kehadiran waterway sempat dianggap positif. Transportasi air itu dianggap bisa menjadi solusi warga Jakarta kala di darat sedang padat merayap. Warga Jakarta pun bisa memanfaatkan waterway dengan datang ke tiga dermaga: dermaga Halimun, Dukuh Atas, dan Dermaga Karet.

Aliran transportasi memanfaatkan jalur Banjir Kanal Timur. Sedang jalur Banjir Kanal Barat masih dalam tahap penyempunaan. Warga Jakarta akan dilayani dengan enam buah speed boat (taksi air) yang berkapasitas 28-50 orang.

Moda transportasi itu dianggap cukup baik di atas kertas. Namun, pada pelaksanaannya banyak membawa masalah. Pembangunan waterway tak disertai dengan kemampuan pemerintah dalam membersihkan kali dari sampah.

Taksi air sering kali berhenti untuk membersihkan sampah yang tersangkut di baling-baling. Masalah itu membuat waktu tempuh dari satu dermaga ke lainnya jadi tak menentu. Alhasil, sama saja antara menggunakan transportasi air dan lainnya.

Sutiyoso yang pernah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta era 1997-2007. (ANTARA)

Barang siapa yang naik taksi air juga harus menyiapkan mental dengan bau semerbak dari sungai. Bau-bau itu karena banyaknya sampah limbah rumah tangga, kadang juga bangkai binatang di kali. Kondisi itu membuat penumpang jadi tersiksa, alih-alih mendapatkan kenyamanan.

Belakangan penumpang taksi air mulai menurun. Mereka tak merasakan kemudahan menggunakan waterway. Akhirnya, waterway yang dianggap solusi oleh Sutiyoso mulai terbengkalai dengan sendiri tanpa kejelasan hanya dalam dua tahun – jika tak mau dikatakan telah gagal total.

“Impian Sutiyoso, entah ketinggian atau tidak, yang jelas belum kunjung tercapai. Perahu-perahu waterway terongok tanpa daya dihajar sampah Kanal Banjir Timur,” ungkap Muchamad Nafi dan kawan-kawan dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Jebol Fulus di Jalur Busway (2009).