Bentuk Aliansi, Tiga Etnis Bersenjata Sepakat Perangi Rezim Militer Myanmar
JAKARTA - Arakan Army (AA) dan dua kelompok etnis bersenjata mitranya di Aliansi Persaudaraan mengatakan, mereka siap bergabung dengan semua etnis dan masyarakat Myanmar, seiring dengan berlanjutnya kebrutalan rezim militer Myanmar.
Aliansi yang terdiri dari Myanmar National Democratic Alliance Army (MNDAA), Ta’ang National Liberation Army (TNLA) dan Arakan Army mengutuk junta militer, seiring dengan korban tewas pengunjuk rasa antikudeta telah mencapai 510 orang.
Berjuang untuk otonomi yang lebih besar di Negara Bagian Rakhine di barat negara itu, AA telah menjadi salah satu kekuatan paling tangguh yang menghadapi militer Myanmar selama dua tahun terakhir.
Pertempuran antara AA dan militer Myanmar terus meningkat dari November 2018 hingga awal November 2020 Konflik tersebut menyebabkan ratusan korban sipil dan menyebabkan lebih dari 200.000 penduduk mengungsi.
Pertengahan Maret lalu, rezim militer Myanmar mencabut Arakan Army dari daftar kelompok teroris, setelah pertempuran antara kedua belah pihak dihentikan pada November.
Juru bicara AA Khaing Thukha mengatakan kepada The Irrawaddy, sudah saatnya organisasi etnis bergandengan tangan untuk melindungi warga sipil yang tertindas dari rezim militer.
"Kita harus melakukan yang terbaik untuk melindungi nyawa dan harta benda orang-orang yang tertindas," katanya.
AA, TNLA dan MNDAA memperingatkan militer, mereka akan bekerja sama dengan organisasi etnis bersenjata lainnya dan pendukung pro-demokrasi, untuk mempertahankan diri dari penumpasan brutal rezim jika kekerasan berlanjut.
"Mereka memperlakukan warga sipil dengan sangat kejam. Warga sipil yang tidak bersalah ditembak secara brutal dan dibunuh oleh militer setiap hari. Penangkapan dan penjarahan sewenang-wenang terhadap properti orang-orang sedang meningkat. Kami mengutuk keras tindakan tidak manusiawi dari tentara dan polisi Myanmar," tegasnya Khaing Thukha.
Sebelum kudeta, Aliansi Persaudaraan telah merundingkan perjanjian bilateral individu antara setiap anggota dan militer untuk menghentikan pertempuran, dan mengumumkan gencatan senjata sepihak untuk mendukung negosiasi. Setelah kudeta militer, mereka (rezim) memperpanjang gencatan senjata sepihak hingga 31 Maret.
"Kami mengutuk tindakan keras tersebut. Kami juga berduka bersama dengan keluarga para pengunjuk rasa yang tewas. Aliansi sedang mempertimbangkan untuk mengakhiri gencatan senjata sepihak," terang Juru bicara TNLA Mayor Mai Aik Kyaw.
Baca juga:
- Korban Tewas Capai 510 Orang, Amerika Serikat Tangguhkan Perjanjian Dagang dan Investasi dengan Myanmar
- Ribuan Pengungsi Myanmar Terkatung-katung di Perbatasan, PM Thailand: Kami Telah Menyiapkan Area
- Cetak Gol dan Tunjukan Simbol Antikudeta Militer Myanmar, Pesepak Bola Ini Dikenai Larangan Bermain
- Militer Myanmar Lancarkan Serangan Udara, 3 Ribu Warga di Wilayah Kekuasaan Etnis Bersenjata Mengungsi
Dia mengatakan, Aliansi Persaudaraan sedang mempertimbangkan untuk mengakhiri gencatan senjata sepihak. Selain itu, ia mengatakan TNLA menyebut militer bertanggung jawab atas kekerasan tersebut, termasuk penembakan dan pembunuhan warga sipil. Karenanya, mereka akan bergabung dengan aliansi lainnya melindungi warga sipil.
Sebelumnya, Kachin Independence Army (KIA) dan sayap militer Karen National Liberation Army (KNLA) yang merupakan sayap militer Karen National Union (KNU), berhasil menyerang dan merebut sejumlah markas dan pos terdepan milik polisi dan militer Myanmar.
Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.