Soleman Ponto Bicara Soal Intelijen, Napiter, hingga Gaya Kepemimpinan Prabowo

JAKARTA - Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI 2011-2013, Laksamana Muda TNI (Purnawirawan) Soleman B. Ponto menegaskan fungsi Intelijen negara harus dimaksimalkan dalam menangani Narapidana Terorisme (Napiter). Hal itu menanggapi adanya pemberian remisi kepada 157 Napiter pada Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke 78, 17 Agustus lalu.

“Selalu ada dua alat negara, by law dan beyond the law. Dua hal ini harus selalu ada terhadap napi tadi (napiter). By law sudah selesai, tapi dia harus selalu diikuti, itulah beyond the law,” kata Soleman dalam podcast EdShareOn bersama host Eddy Wijaya yang tayang pada Rabu, 28 Agustus 2024. “Tapi, dia (napiter) tidak boleh tahu kalau diikuti, nanti dia marah. Itulah intelijen.” dia menambahkan.

Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) memberikan remisi Hari Kemerdekaan kepada total 175.510 narapidana. Sebanyak 157 di antaranya adalah napiter, yang mana 26 napiter langsung bebas. “Jadi soal remisi napiter, fungsi intelijen harus dijalankan,” ucap Soleman.

Tokoh TNI Angkatan Laut yang mahir memainkan saxophone ini menjelaskan, intelijen dalam pengawasannya memiliki catatan-catatan yang menjadi tolak ukur pemerintah untuk mengambil keputusan. Catatan itu, salah satunya, diambil dari hasil pengawasan aktivitas keseharian napiter pasca bebas. “Jadi pemerintah harus bertanggungjawab. Mengapa? Semua harus tercatat, bisa dipertanggungjawabkan. Itu namanya anteseden, pencatatan dosa orang-orang,” katanya sambil tertawa.

Dalam pencegahan teroris, Soleman mengaku tidak menyetujui istilah deradikalisasi. Menurutnya, istilah yang kerap digunakan untuk mengembalikan napiter ke pangkuan NKRI tersebut tidak memiliki maksud yang jelas. Bahkan dia menyebut istilah deradikalisasi justru kerap menimbulkan sekat dengan napiter. “Menurut saya istilah deradikalisasi tersebut sebaiknya diubah sehingga terjadi dialog dan penyamaan pendapat dengan para pelaku teroris,” katanya.

Pria yang pernah mengenyam pendidikan Civil Military Response To Terrorism juga menyoroti tumpang tindih aturan dalam penanganan terorisme. Misalnya dalam Undang-Undang Teroris menyebut larangan berpikir radikal, sedangkan UU lainnya menyatakan hanya tindakannya yang dihukum. “Bagaimana bisa match? Berpikir radikal itu tentang apa? Bagi saya, radikal itu kawan berpikir,” ujar Soleman. “Coba lihat TAP MPR, di dalamnya terdapat larangan belajar komunis, dilarang Leninis, itu jelas namanya. Tapi berpikir radikal itu apa? tidak jelas!” kata pria kelahiran Tahuna, Sulawesi Utara, 6 November 1955 itu menambahkan.

Perbedaan Mencolok Gaya Kepemimpinan Jokowi dan Prabowo Kepada Eddy Wijaya, Soleman juga memberi penilaian pada transisi kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto yang bakal dilantik pada 20 Oktober mendatang. Ia menilai transisi kepemimpinan ini akan diwarnai perbedaan gaya kepemimpinan yang cukup mencolok dari keduanya.

“Pak Jokowi dan Pak Prabowo adalah dua sosok yang berbeda. Satu lahir dari kekerasan pertempuran, sedangkan yang satu (Jokowi) lahir dari kekerasan perdagangan, tukang kayu,” ujarnya.

Menurut Soleman, Jokowi sebagai seorang yang pernah berprofesi sebagai tukang kayu tentu akan memiliki perusahaan kayu. Sehingga, latar belakang itu membuat Jokowi menganggap perusahaannya mesti diwariskan kepada anak cucu. “Berbeda misalnya seseorang yang pernah menjadi anggota organisasi massa, misalnya pemimpin organisasi Galaruwa (Jaga Pancasila Zamrud Khatulistiwa). Seorang pemimpin Galaruwa tentu tahu jabatannya tidak bisa diwariskan. Harus ada proses,” ucapnya.

Sementara Prabowo, lanjut Soleman, adalah seorang yang biasanya menunjuk bawahan yang dianggapnya mampu mengemban tugas. Hal tersebut tak lepas dari latar belakang Prabowo sebagai seorang pemimpin di lingkup TNI yang kerap bertugas di medan perang. “(Gaya kepemimpinan) itu pasti akan berpengaruh," kata Soleman.

Kendati demikian, Soleman memaklumi perbedaan Prabowo dengan Jokowi dalam memimpin negara nantinya. “Orang itu akan bekerja berdasarkan di mana dia dibesarkan dan bagaimana pengaruh lingkungan terhadapnya,” ucap Soleman.

Saksikan selengkapnya di EdShareOn Eddy Wijaya. (ADV)