Praktik Perjokian Era Orde Baru: Fenomena Menyedihkan Masuk PTN Cara Instan
JAKARTA - Praktik perjokian pernah masif terjadi di dunia akademik era Ode Baru (Orba). Peluang itu terbuka lebar karena peminatnya yang bejibun. Ambil contoh dalam ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ujian Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru), misalnya.
Ujian yang dikenalkan pada 1984 itu tak jarang terjadi kecurangan. Tes itu terlampau sulit. Praktik perjokian muncul bak juru selamat. Bahkan, uang yang didapatkan cukup besar. Barang siapa yang jadi joki niscaya akan panen uang, sekalipun uang haram.
Seleksi masuk PTN kerap jadi perhatian di era Orba. Peminatnya kian bertambah tiap tahun. Kondisi itu membuat pemerintah mencoba merumuskan formula seleksi yang tepat untuk calon mahasiswa baru. Sipenmaru, misalnya. Ujian Sipenmaru baru diperkenal pada 1984.
Sebelumnya, khalayak umum mengetahui ujian Skalu (1976-1979) dan Perintis (1979-1983). Ujian Sipenmaru pun digadang-gadang menyempurnakan kedua formula ujian Skalu dan Perintis. Ujian Sipenmaru dilaksanakan secara serentak.
Antar satu daerah dan daerah lainnya soal yang diberikan sama. Ujian pun dilakukan di hari yang sama. Alhasil, mereka hanya dapat mengikuti satu kali ujian seleksi masuk ke perguruan tinggi negeri – program diploma atau sarjana.
Era Sipenmaru pun sebenarnya juga mengakomodasi jalur tanpa ujian. Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK), namanya. Mereka yang dapat masuk ke jalur itu harus memiliki kemampuan yang mempuni – nilai rapot dan prestasi.
Masalah muncul. Jalur tanpa tes justru sukar bukan main. Mereka yang benar-benar pintar dan punya prestasi bejibun saja yang dapat masuk. Itupun terbatas. Sisanya mereka dengan kemampuan pas-pasan terpaksa harus bertarung mengikuti ujian Sipenmaru serentak yang dianggap sulit.
Apalagi, kala meminati jurusan macam Kedokteran dari kampus ternama. Kondisi itu nyatanya membuka ladang bisnis baru: perjokian. Mereka yang merasakan memiliki kemampuan mempuni dalam akademik mulai unjuk gigi. Mereka rela membantu calon mahasiswa menjadi joki dengan biaya yang disepakati.
Baca juga:
- Mendagri Hari Sabarno dan Skandal Korupsi Mobil Damkar
- Karier Sempurna Kamala Harris: Dari Jaksa, Senator, hingga Wapres AS
- Sejarah Prancis Larang Atribut Keagamaan di Sekolah: Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan adalah Segalanya
- Siasat Korting Tiket: Upaya Tingkatkan Minat Orang Naik Pesawat Terbang Era Hindia Belanda
“Kata joki dulu memang pernah populer di kalangan calon mahasiswa yang bersaing ketat untuk masuk PTN. Ketika itu hanya ada sátu saluran masuk PTN yang memungkinkan yaitu tes tertulis nasional.”
“Saking sulitnya masuk PTN tidak salah jika beberapa calon mahasiswa menempuh cara yang tidak terhormat, menggunakan jasa joki. Joki adalah para mahasiswa cerdas yang bersedia menjadi juru jawab dalam tes seleksi masuk PTN. Mereka bisa duduk di samping pengguna jasanya atau lebih ekstrem seorang joki menjadi stuntman – serupa pemeran pengganti,” ujar I Wayan Artika dalam buku Menafsir Realitas dan Wacana (2024).
Praktek Joki Menjamur
Sistem ujian Sipenmaru digadang-gadang tak memberikan ruang bagi peserta yang curang. Keunggulan sistem dan keamanan dari Sipenmaru dibanggakan. Namun, celah kecurangan bukan berarti tak ada. Kecurangan justru muncul lewat menjamurnya praktik perjokian.
Praktik perjokian paling sering dijadikan ajian untuk lulus Sipenmaru. Mereka yang tak yakin dirinya bakal lulus PTN dan punya ilmu pas-pasan, mau tak mau menggunakan jasa joki. Joki dianggap jalan pintas yang tepat – utamanya kala ingin masuk ke Fakultas Kedokteran.
Ambil contoh praktik perjokian yang terjadi pada ujian Sipenmaru di Mataram, Lombok, Nusa Tengara Barat (NTB) yang terbongkar pada 1987. Sehari sebelum ujian mulai, pihak Universitas Airlangga (Unair) memberikan informasi jika ada joki yang menyusup sebagai peserta.
Informasi itu ditelusuri. Akhirnya tertangkaplah seorang bernama Indra Gunawan yang notabene mahasiswa Fakultas Kedokteran semester akhir di Unair. Indra memang mahasiswa yang tergolong pintar.
Ia kedapatan menjadi joki untuk tujuh orang kliennya yang ngebet masuk Fakultas Kedokteran Universitas Mataram. Indra tentu saja menggunakan identitas palsu, Widodo Purnomo. Mahasiswa Unair itu telah mengatur dirinya supaya bisa sekelas tes di ruang 76 SMA Ampenan.
Hasilnya mengagumkan. Ketujuh calon mahasiswa itu memiliki jawaban yang sama sebanyak 117 nomor dari total 125 soal. Mereka mendapatkan arahan dengan kode tertentu macam batuk, menghirup ingus, dan menggesek sepatu.
Joki pun dibayarnya tak main-main. Si joki bisa menerima sampai jutaan rupiah. Tujuh orang yang mau merogoh kocek tebal juga bukan sosok orang sembarang. Mereka adalah anak-anak pejabat kaya.
Si Joki pun mengaku hal itu bukan yang pertama kali. Ia sudah mencoba mempraktikkannya tahun 1986 di Universitas Jember dan berhasil. Ia pun ketagihan dengan uang yang didapat. Namun, potret perjokian bukan Cuma dilakukan di satu tempat, tapi banyak tempat.
Mereka yang menjadi joki bak membentuk mafia-mafia kecil untuk memuluskan keinginan kliennya. Profesi haram itu muncul dari banyaknya permintaan dan skema ujian yang memiliki banyak celah untuk ditembus.
“Ada anak direktur utama sebuah perusahaan asuransi di Jakarta, ada pula wakil direktur sebuah bank di Mataram. Tanpa menunggu jadi dokter, seumpama semuanya berjalan mulus, tahun ini Si Joki (Indra Gunawan) pemuda kelahiran Kediri, Jawa Timur, ini tentu jadi jutawan.”
“Sesungguhnya, pihak panitia Sipenmaru telah mencoba mengatasi perjokian ini. Antara lain dengan mengocok tempat duduk para calon, hingga seandainya ada joki tipis kemungkinan duduknya bakal berdekatan dengan kliennya. Repotnya, dengan uang sogok, upaya panitia bisa tak berarti,” ungkap Suprianto Khafid dan Saiff Bakham dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Joki-Joki Sipenmaru (1987).