Bagikan:

JAKARTA - Keprihatinan Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri yang disampaikan secara terbuka soal kualitas demokrasi Indonesia, dinilai Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti sebagai introspeksi kelemahan sistem demokrasi ala barat yang diterapkan sejak era Reformasi di Indonesia.

Sebelumnya, Megawati bilang akibat praktik kekuasaan yang telah mengabaikan kebenaran hakiki dan politik atas dasar nurani, terjadilah praktik berbagai manipulasi hukum. Mega menyitir apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi menyusul Putusan Majelis Kehormatan MK yang mencopot Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua MK.

Bak gayung bersambut, kata LaNyalla, keprihatinan Megawati adalah fenomena gunung es dari ketidaksesuain karakter bangsa Indonesia dengan sistem yang diadopsi dari barat secara membabi buta.

"Mengganti sistem bernegara itu bukan jawaban, karena ibarat pasien salah obat. Yang terjadi bukannya sembuh, tetapi malah keracunan,” tandasnya, Senin 13 November.

Ditambahkan LaNyalla, saat reformasi, kita seharusnya melakukan Amandemen dengan Teknik Adendum, dengan mengakomodasi tuntutan reformasi, sekaligus memastikan kedaulatan rakyat semakin kuat, tanpa mengganti sistem bernegara.

Karena rumusan sistem bernegara itu adalah pikiran para pendiri bangsa, yang telah dipelajari dan disepakati, bahwa Indonesia sebagai negara super majemuk dan kepulauan serta tradisi hidup bersama, sudah menemukan sistem tersendiri. Yaitu sistem yang sesuai dengan Pancasila.

“Praktik penyimpangan yang terjadi di era Orde Baru itu yang harus kita benahi total. Seperti penunjukkan utusan golongan oleh presiden, atau utusan daerah yang diisi pejabat di daerah. Juga partai politik yang dikerdilkan, sementara golongan karya direpresentasi dari tiga jalur, ABRI, Birokrasi dan Kekaryaan. Ini kan praktik yang salah, sehingga meskipun Presiden mandataris MPR, tetapi yang berada di MPR nyaris semua orangnya presiden,” urainya.

DPD menggagas, agar Indonesia lebih berdaulat, saatnya kembali menerapkan sistem bernegara yang dirumuskan pendiri bangsa, dengan menyempurnakan untuk menghindari praktik penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru.

“Bukan lalu kita buang dan kita ganti total dengan sistem liberal. Akibatnya salah obat. Silakan dicek, dari awal 2014 hingga hari ini, bagaimana kualitas demokrasi langsung. Membaik atau memburuk. Biaya pemilu langsung di Pilkada sampai Pilpres yang terus membengkak, menguntungkan siapa? Lantas siapa yang bisa menjamin akurasi suara Pilpres dari 800 ribu lebih TPS di Indonesia, selain KPU sebagai satu-satunya lembaga setingkat komisi yang berwenang menentukan siapa presiden Indonesia terpilih,” beber LaNyalla.

LaNyalla juga mengkritik tokoh dan intelektual pro barat yang mengatakan bahwa proses pemilihan presiden langsung akan semakin membaik dari tahun ke tahun. Bahkan ada yang menyatakan Pilpres tahun 2034 nanti puncak Pilpres terbaik.

“Bagi saya, itu asal ngomong saja, karena breakdown milestone-nya dari 2014 tidak ada kok, gak ada bedanya dengan prediksi skor sepakbola,” imbuhnya.