Civitas Akademika Unair Respon Dinamika Politik Melalui Aksi "Unair Memanggil"
Alumni Universitas Airlangga Surabaya memberikan respons terhadap dinamika politik saat ini (foto: dok. antara )

Bagikan:

SUARABAYA - Puluhan civitas akademika dan alumni Universitas Airlangga Surabaya memberikan respons terhadap dinamika politik saat ini melalui aksi "Unair Memanggil: Ajakan Terbuka dalam Pernyataan Sikap Menegakkan Demokrasi, Menjaga Republik" di kampus setempat pada Senin 5 Februari. Lebih dari 100 orang telah menandatangani petisi ini sebagai bentuk keprihatinan terhadap perkembangan politik yang dianggap semakin menjauh dari prinsip etika republik.

Airlangga Pribadi Kusman, seorang civitas akademika Unair, menyatakan bahwa aksi ini merupakan respons terhadap situasi politik yang semakin meresahkan. Pernyataan sikap ini mencerminkan keprihatinan dari insan akademik terhadap perkembangan yang dianggap semakin menjauh dari prinsip etika republik.

"Kami melihat penyelenggara negara ini semakin lama bertambah menjauh dari prinsip etika republik," kata Airlangga.

Menurutnya, Indonesia sebagai negara republik harus mengedepankan prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara. Aksi ini juga merupakan respons terhadap pelanggaran etika berat yang terjadi, termasuk indikasi intervensi kekuasaan dalam proses pilpres.

Airlangga menyebut bahwa para akademisi menginginkan Indonesia tetap menjadi negara hukum berdasarkan rule of law, bukan rule by the law, dengan hukum di atas kekuasaan.

"Ketika saat ini kita menyaksikan mulai dari persoalan Mahkamah Konsitusi yang kemudian terjadi pelanggaran etika berat sampai kemudian indikasi adanya intervensi kekuasaan," ungkapnya.

Civitas akademika Unair juga menyoroti program pembangunan yang dinilai dimanfaatkan untuk kepentingan politik elektoral. Mereka berharap pemimpin dapat memberikan teladan etis bagi rakyat dan menilai bahwa situasi tersebut harus dievaluasi agar tidak merugikan demokrasi.

Mengenai anggapan bahwa pernyataan akademisi bersifat partisan, Airlangga melihat bahwa penilaian tersebut tidak tepat. Ia menegaskan bahwa suara yang mencoba mengoreksi dalam momen-momen politik tertentu dianggap meresahkan oleh kekuasaan.

"Aksi yang mendorong demokrasi dianggap partisan politik. Ini pengulangan bingkai dari era Orde Baru," ujarnya.

Aksi yang dilakukan oleh para akademisi dianggap sebagai hak sipil dan politik warga negara yang harus dihormati. Mereka juga menganggap penggunaan mimbar akademik sebagai hak yang harus dihormati dan dilindungi oleh institusi.