Dilema Merawat Orang Tua di Tengah Konotasi Negatif Mengenai Panti Jompo

JAKARTA – Merawat orang tua yang sudah berusia lanjut tidaklah mudah, dan sering kali menimbulkan dilema. Sebagian berpendapat merawat orang tua adalah kewajiban anak, seberapa pun sibuknya dia. Namun seiring berkembangnya zaman, pendapat ini dianggap tidak lagi relevan di era sekarang dan panti jompo dinilai bisa menjadi solusi.

Dalam sebuah video berdurasi 01.37 detik menceritakan bagaimana tiga pria tampak mencongkel pintu rumah dengan linggis. Tak lama kemudian, pintu berhasil didobrak dan mereka menemukan dua jasad yang mulai menghitam dan mengering berbaring di atas kasur yang berantakan.

Keputusan warga mendobrak pintu rumah tersebut bukan tanpa alasan. Rumah itu ditempati suami istri lansia, Hans Tomasoa (83 tahun) dan Rita Tomasoa (73 tahun). Namun sejak Senin (8/7/2024) Opa Hans dan Oma Rita, begitu mereka disapa, tidak terlihat batang hidungnya.

Warga yang curiga kemudian mengadu ke sekuriti kompleks. Sebelum mendobrak rumah, pihak rukun tetangga (RT) mencoba menghubungi keluarga dan kerabat Opa Hans dan Oma Rita.

Petugas mengevakuasi jasad sepasang lansia di Perumahan Citra Indah Bukit Raflesia, Desa Singajaya, Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Dok Polres Bogor)

Namun mereka tidak mendapat informasi apa pun. Anak bungsu keduanya bahkan tidak menjawab pertanyaan pihak RT.

Akhirnya mereka memutuskan membuka paksa pintu rumah Opa Hans dan Oma Rita pada Jumat (12/7) pagi. Betapa terkejutnya mereka mendapati sepasang suami istri lansia ini sudah terbujur kaku.

Peristiwa itu terjadi di Desa Singajaya, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor.

Tak Pernah Dikunjungi Anak

Hans Tomasoa adalah dosen di salah satu sekolah pelayaran di daerah Jakarta Timur. Namun saat pandemi COVID-19, mantan pelaut ini tak lagi mengajar. Kondisi fisiknya juga sudah makin lemah.

Sedangkan Rita disebut warga sebagai mantan penyiar radio dan pensiunan pegawai negeri.

Keduanya dikenal akrab dengan tetangga, kata Ketua RT di Perumahan Citra Indah, Jonathan Tobing. Namun sepanjang menetap di sana sejak 2017, Jonathan mengaku tidak pernah melihat anak-anak mereka berkunjung.

Lalu berdasarkan keterangan RSUD Cileungsi, penyebab kematian pasangan lansia ini akibat kekurangan makanan.

Dari keterangan petugas yang membawa jenazah diperkirakan Oma Rita meninggal lebih dulu, terlihat dari jasadnya yang sudah mengering. Sementara jasad Opa Hans masih cukup berat, yang artinya cairan tubuhnya masih cukup banyak.

Para Lansia penghuni panti jompo Karya Asih Jalan Kramat Kwitang 1A Jakarta Pusat dalam baksos yang diselenggarakan Kadin Jakarta. (ANTARA/Ganet Dirgantoro/am)

Pendeta Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Cipeuang, Ezra Sudarsono, mengatakan kedua orang itu merupakan jemaatnya. Ia tahu jika pasangan lansia itu hanya tinggal berdua di rumah mereka. Tanpa asisten rumah tangga, apalagi perawat.

Oma Rita hanya bisa berbaring atau duduk di kursi roda akibat stroke. Karenanya ibu tiga anak ini sangat bergantung pada sang suami, yang juga kondisinya sudah lemah.

Karena khawatir, Ezra mengaku pernah menawari keduanya tinggal di rumah lansia atau panti jompo dengan biaya dari gereja. Namun permintaan ini ditolak oleh Opa Hans dan Oma Rita.

Permintaan serupa pernah diajukan pihak RT, dan jawabannya sama, mereka memilih tetap tinggal berdua.

Menyimpan Kerumitan

Ungkapan terima kasih kepada warga sekitar dan jemaat gereja yang telah mendampingi orang tua tersebut dilantunkan sejumlah warganet, setelah peristiwa ini ramai dibahas. Tapi tidak sedikit pula yang menyalahkan anak-anak mereka karena dianggap tidak peduli kepada orang tua.

Ke mana anak-anak mereka?

Begitu pertanyaan yang muncul pertama kali setelah kabar ini menjadi pemberitaan media massa nasional.

Psikolog Evita Djaman mengatakan kasus orang tua lansia yang meninggal sendirian seperti yang dialami Opa Hans dan Oma Rita memiliki banyak kerumitan sehingga perlu ditelisik lebih dalam.

Di antaranya adalah bagaimana hubungan kedua pasangan suami istri dengan anak-anak mereka, apakah ada hubungan emosional yang erat atau tidak, serta bagaimana pola asuh yang terjadi di antara mereka.

Merawat orangtua yang sudah lansia masih menjadi pilihan sebagian orang, sebagai salah satu bentuk berbakti, meski opsi ini kerap menimbulkan dilema. (Unsplash)

Karena itu, publik tidak bisa langsung menyalahkan si anak tanpa tahu persoalannya.

“Memang kenyataan meninggal sendirian. Tapi harus dilihat hubungan (orang tua) dengan anak-anaknya seperti apa? Jadi tidak bisa satu sudut pandang saja,” ujar Evita, mengutip Kompas.

Meski begitu, Evita menilai meninggalkan orang tua atau lansia sendirian di rumah tanpa ada yang menjaga atau mengawasi sebetulnya berbahaya, karena mereka butuh perlakuan khusus.

Bagi yang kondisinya baik-baik saja, mereka butuh teman untuk bersosialisasi atau bercerita. Sementara yang kurang sehat, butuh caregiver atau pengasuh.

Menghapus Konotasi Negatif

Merawat orang tua di usia senja mereka bagi sebagian kalangan adalah sebuah Impian. Hal ini dianggap sebagai salah satu bentuk berbakti kepada orang tua, dan supaya tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.

Meski demikian, merawat orang tua yang sudah berusia lanjut juga seringkali menjadi dilema, sebagaimana dituturkan Prof Dr Dra Ari Pradhanawati, M.S., Sosiolog dan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro

Bagi anak yang sudah berkeluarga, misalnya, butuh persetujuan dari pasangan mereka sebelum memutuskan merawat orang tua.  

“Merawat orang tua itu harus disetujui kedua belah pihak, suami istri atau ibunya suami atau ibunya istri harus setuju. Jika tidak setuju nanti terjadi persoalan,” ungkap Prof. Ari.

Panti jompo menyediakan sejumlah fasilitas yang dibutuhkan lansia seperti kesehatan, obat-obatan, makanan, hingga hiburan. (Unsplash)

Meski merawat orang tua masih menjadi pilihan utama, tidak sedikit pula yang memilih menempatan orang tua ke rumah lansia atau panti jompo.

Namun, menitipkan orang tua ke panti jompo dianggap bukan budaya Indonesia dan disebut tidak sesuai dengan ajaran agama. Prof Ari menuturkan, dari sisi sosiologi fenomena di Indonesia, menitipkan orang tua di panti jompo dinilai kurang patut karena istilah panti jompo sering mendapat konotasi negatif.

“Dalam pikiran kita jika mendengar kata panti jompo atau panti wreda seolah menganggap orang tua dibuang padahal sebenarnya tidak begitu juga, karena memang ketika mendengar kata jompo atau wreda terkadang membuat pikiran malah stres,” ungkap Prof. Ari, dikutip laman resmi Undip.

Untuk itu, ia mengatakan perlu membuat istilah yang membuat nyaman. Alih-alih panti jompo, rumah masa tua menurut Prof. Ari lebih pas digunakan untuk menghilangkan konotasi negatif. Dengan begitu, menitipkan orang tua ke panti jompo tidak diartikan ‘membuang’ mereka.

Bisa Jadi Solusi

Sementara itu, Psikolog Evita juga tidak menampik, menempatkan orang tua ke rumah lansia bisa menjadi solusi terbaik dalam beberapa kasus. Misalnya, ketika rumah anak terlalu sempit untuk menambah anggota keluarga, apalagi jika misalnya orang tua membutuhkan kamar mandi khusus, kursi roda, dan lain sebagainya.

Atau ada pula yang anaknya tinggal di luar negeri maupun luar kota, sementara orang tua tidak mau ikut.

“Kalau si anak ingin orang tuanya dititipkan ke rumah lansia, apakah kualat?” ujarnya.

Rumah lansia atau panti jompo yang dikelola pemerintah maupun swasta sekarang ini, menurut Evita menyediakan sejumlah fasilitas kesehatan, obat-obatan, makanan, ibadah, bahkan hiburan yang dibutuhkan para lansia.

“Kalau saya berkunjung ke aula rumah lansia, ada yang bermain angklung, gamelan, atau membuat kerajinan tangan,” jelas Evita.

"Jadi kita jangan menghakimi kalau rumah lansia artinya tempat buangan. Lihat dulu panti jompo itu kadang lebih nyaman dari rumah anak. Karena di sana (lansia) tidak disia-siakan, tapi diurus oleh orang-orang yang dedikatif, relawan yang baik hati," kata Evita lagi.