Secara Psikologis, Waktu Liburan Terasa Singkat adalah Hal Nyata

JAKARTA – Masa liburan adalah momen yang dinanti-nantikan semua orang dari berbagai usia, mulai anak-anak sampai dewasa. Namun, seringkah sadar bahwa hari-hari di waktu libur berjalan lebih cepat?

Momen libur sekolah untuk menyambut tahun ajaran 2024/2025 berakhir. Setelah jeda dari rutinitas selama kurang lebih tiga pekan, waktunya kembali beraktivitas seperti biasa.

Mungkin bagi sebagian orang merasa liburan cepat berlalu, berbeda dengan hari-hari biasanya yang terasa panjang. Padahal, waktu liburan yang diberikan juga tidak sedikit. Perasaan bahwa waktu liburan seringkali terasa singkat ternyata adalah hal yang lumrah dan dapat dijelaskan dari aspek psikologis.

Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Novi Poespita Candra, menjelaskan fenomena ini sebagai holiday paradox.

“Habis libur panjang, tetapi merasa masa liburannya berlangsung singkat yang membuat orang tidak siap kembali masuk kerja usai berlibur,” ujar Novi.

Perspektif Ekspektasi dan Retrospektif

Holiday pararox adalah hal yang sangat nyata dan dialami banyak orang. Penulis sekaligus Dosen Psikologi University of Sussex Claudia Hammond dalam bukunya berjudul Time Warped menjelaskan, holiday paradox disebabkan oleh fakta bahwa kita memandang waktu dalam pikiran kita dengan dua cara yang sangat berbeda, yaitu secara prospektif dan retrospektif.

Sudut pandang prospektif atau perspektif ekspektasi umumnya digunakan orang sebelum dan selama liburan. Perspektif ekspektasi cenderung terjadi dengan sangat cepat, terutama karena kenangan indah yang berbeda dari kehidupan sehari-hari seperti bekerja, sekolah, dan lain-lain. Sedangkan setelah liburan, mereka memakai sudut pandang retrospektif atau melihat kembali ketika sedang berlibur.

Ketika seseorang melakukan sesuatu atau hal baru dan menarik, yang biasanya terjadi saat liburan, waktu terasa lebih cepat. Sebaliknya, ketika bekerja atau sekolah, seseorang merasa bosan karena kegiatan yang dilakukan berulang kali.

Faktor lain yang menyebabkan waktu terasa lebih cepat saat liburan adalah munculnya kenangan baru. Semua pengalaman baru dalam waktu singkat menghasilkan lebih banyak kenangan dibandingkan ketika berada dalam rutinitas normal lebih.

Hammond menjelaskan, seseorang biasanya mengumpulkan enam sampai sembilan kenangan dalam dua pekan di hari biasa. Namun saat liburan, orang mampu menyimpan jumlah kenangan yang sama hanya dalam satu hari karena melakukan kegiatan di luar rutinitas.

Anak sekolah berpotensi mengalami post-vacation blues, yaitu perasaan sedih setelah liburan. (Unsplash/Rivage)

Post-Vacation Blues

Satu hal yang perlu diwaspadai orangtua adalah ketika menemukan tanda-tanda anak enggan kembali ke sekolah setelah melewati masa liburan. Biasanya, anak merasa semangat kembali ke sekolah karena sudah menanti momen bertemu dan bertukar cerita dengan teman-temannya.

Tapi ketika yang terjadi sebaliknya, maka perlu ditelisik lebih jauh penyebabnya. Psikolog anak, remaja, dan keluarga Rosdiana Setyaningrum MPsi, MHPEd mengungkapkan ada sejumlah alasan anak menolak sekolah seusai liburan, misalnya ada pelajaran yang ditakuti, mengalami bully, atau terlalu manja di rumah.

Tapi Rosdiana juga mengaku kerap menjumpai kasus anak justru kurang mendapatkan istirahat yang cukup selama liburan karena tuntutan untuk tetap belajar atau les. Ini bisa menjadi pemicu anak enggan kembali ke sekolah.

"Kalau mereka ada les dan lesnya itu melelahkan secara fisik, dan liburannya itu lelah secara fisik misalnya hiking, ada baiknya saat seminggu pertama mereka sekolah, nggak usah les dulu. Jadi supaya badannya adjust dulu," ujar dia.

Perasaan malas atau enggan kembali ke sekolah, bekerja, atau rutinitas lainnya seusai liburan biasa disebut post-vacation blues, yang sangat mungkin dialami anak. Menurut Rosdiana, post-vacation blues biasanya akan hilang seiring kembalinya rutinitas sehari-hari.

Jika kondisi ini terus menetap pada anak, Rosdiana mendorong orangtua untuk merefleksikan kembali kondisi anak selama liburan. Apakah anak menikmatinya atau justru merasa anxiety hingga depresi selama liburan.

"Itu yang harus kita perhatikan. Pokoknya anak-anak, kalau misalnya ada sesuatu yang kelihatannya berbeda itu harus kita aware," lanjut Rosdiana.

Dan yang tak kalah penting, orangtua juga harus menyiapkan diri sendiri sebelum dan sesudah masa liburan. Jangan sampai orangtua yang justru merasa enggan untuk kembali bekerja atau melakukan aktivitas rutin sehingga anak mungkin saja menangkap energi tersebut dan ikut-ikutan merasa malas.

"Harus siap sebelum liburan atau sebelum masuk lagi ke pekerjaan atau ke rutinitas. Kalau tanpa sadar orang tuanya ngeluh ‘Aduh, besok ngantor lagi, nih, capek’, anak-anak kan jadinya juga kayak menangkap ‘Oh, nggak enak, ya’," pungkas Rosdiana.