Riuh Muhammadiyah Tarik Dana di BSI: Ketika Politik Bikin Urusan Perbankan jadi Runyam
JAKARTA – Hubungan kerja sama strategis antara organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah, dan Bank Syariah Indonesia (BSI) tengah diuji. Penyebabnya adalah keputusan Muhammadiyah menarik dana simpanan di BSI.
Muhammadiyah bukan ormas biasa, karena juga memiliki badan usaha yang bergerak di bidang pendidikan, rumah sakit, dan badan amal. Karena itulah, kabar penarikan dana di BSI menjadi riuh. Rencana Muhammadiyah menarik dana mereka di BSI bermula dari sebuah memo yang dikeluarkan pada akhir Mei lalu.
"Dengan ini kami minta dilakukan rasionalisasi dana simpanan dan pembiayaan dari BSI dengan pengalihan ke Bank Syariah Bukopin, Bank Mega Syariah, Bank Muamalat dan bank syariah daerah serta bank lain yang selama ini bekerja sama dengan Muhammadiyah," tulis memo yang dikeluarkan Muhammadiyah.
Dalam memo tersebut, tidak disebutkan berapa nominal dana yang akan ditarik Muhammadiyah. Namun menurut kabar yang beredar, nilainya mencapai lebih dari Rp10 triliun.
Ketua PP Muhammadiyah bidang Ekonomi, Bisnis, dan Industri Halal Anwar Abbas menjelaskan, keputusan ini didasarkan pada pertimbangan risiko konsentrasi dana yang terlalu besar di BSI.
“Secara bisnis, hal ini dapat menimbulkan risiko konsentrasi. Sementara di bank syariah lain, dana yang ditempatkan masih sedikit, sehingga mereka tidak bisa berkompetisi dengan margin yang ditawarkan oleh BSI,” kata Anwar Abbas dalam keterangan tertulisnya pada 6 Juni 2024.
Menanggapi pemberitaan mengenai keputusan Muhammadiyah mengalihkan dananya, Corporate Secretary PT Bank Syariah Indonesia Tbk Wisnu Sunandar menegaskan BSI selalu berkomitmen melayani dan mengembangkan ekonomi umat melalui upaya kolaborasi dengan mitra strategis dan pemangku kepentingan.
"Terkait pengalihan dana oleh PP Muhammadiyah, BSI berkomitmen untuk terus menjadi mitra strategis dan siap berkolaborasi dengan seluruh stakeholder dalam upaya mengembangkan berbagai sektor ekonomi umat. Terlebih bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang merupakan tulang punggung ekonomi bangsa,” kata Wisnu.
Efek Domino
Keputusan Muhammadiyah yang berstatus salah satu organisasi Islam besar di Indonesia mengalihkan dananya dari BSI tidak bisa dipandang sebagai hal kecil. Utamanya soal potensi efek domino dan risiko konsentrasi bagi nasabah BSI.
Tak sekadar bisnis pengelolaan dana nasabah, bank juga termasuk bisnis yang mengedepankan kepercayaan dari nasabah. Keputusan Muhammadiyah menarik dana di BSI berpotensi bakal diikuti pengikutnya yang diperkirakan mencapai ratusan juta di seluruh Indonesia.
Karena itulah, pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo mengatakan, kebijakan ini akan berdampak pada BSI, setidaknya dalam jangka pendek. Maraknya pemberitaan dan komentar akan menimbulkan pertanyaan bagi nasabah segala segmen.
Penarikan dana oleh Muhammadiyah menjadi tantangan besar bagi BSI. Mereka harus memastikan memastikan kepercayaan nasabah atau publik bahwa dana mereka aman di BSI.
Sementara itu, ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menambahkan, penarikan atau peralihan dana Muhammadiyah di BSI harus menjadi alarm bagi perusahaan pelat merah tersebut. Dengan likuiditas yang menurun bisa memantik rush terhadap nasabah lainnya.
Baca juga:
- Sekstorsi, Kejahatan Predator Seks Daring yang Dialami Ibu Muda di Tangsel dalam Kasus Pencabulan Anak Kandung
- Polemik Penambahan Kuota Pemain Asing Liga 1: Tren yang Tak Bisa Ditolak, tapi Jangan Lupa Pembinaan Usia Dini
- Mengenal Asian Value, Istilah yang Sedang Viral dalam Obrolan Topik Politik
- Pentingnya Edukasi Seksual Supaya Anak Tak Jadi Korban Pelecehan
“Isu ini harus disikapi dengan tepat oleh BSI sehingga meyakinkan nasabah lainnya untuk tidak ikutan narik uangnya dari BSI,” ujarnya.
Huda menambahkan, dana Muhammadiyah yang cukup besar dan perputaran yang kuat dengan berbagai badan usaha yang didirikan, dampaknya akan langsung terasa ke likuiditas dan pembiayaan oleh BSI.
Selain itu, kemampuan pembiayaan BSI juga dikhawatirkan berkurang. Hal ini berpotensi pada seretnya pendapatan dari margin yang bisa menurun akibat kemampuan pembiayaan dari BSI.
“Sebenarnya memang niatnya baik untuk pemerataan pendanaan di bank syariah, namun perbankan tetap membutuhkan dana pihak ketiga yang cukup guna likuiditas dan pembiayaan,” Huda menambahkan.
Polemik Penunjukkan Komisaris
Pernyataan Muhammadiyah terkait alasan penarikan dana di BSI tidak ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. Publik masih bertanya-tanya soal alasan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia ini menarik triliunan dananya di BSI.
Meski Muhammadiyah memberikan alasan penarikan dana tersebut untuk memitigasi risiko keuangan, namun kabar lain yang beredar menyebutkan bahwa keputusan ini dilatarbelakangi hal yang berbau politis.
Muhammadiyah sebelumnya pernah diminta BSI memasukkan beberapa nama sebagai Dewan Pengawas Syariah dan Komisaris BSI. Ada nama Jaih Mubarak dan Abdul Mu’ti yang diajukan Muhammadiyah sebagai calon DPS dan Komisaris BSI.
Namun berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) 17 Mei 2024, BSI mengangkat Felicitas Tallulembang sebagai komisaris, menyisihkan Abdul Mu’ti, calon yang disodorkan BSI. Untuk diketahui, Felicitas Talulembang merupakan politikus Gerindra.
Ahli Bisnis Syariah yang juga Ekonom Universitas Indonesia, Yusuf Wibisono, mencurigai ada kaitannya antara penarikan dana Muhammadiyah di BSI dengan penunjukkan Felicitas Tallulembang sebagai komisaris. Muhammadiyah sendiri masih menempatkan pengurusnya di jajasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) yaitu Jaih Mubarok.
Yusuf menuturkan, dalam pemilihan komisaris, bank memperhitungkan kepentingan stakeholder utama, yaitu pemegang saham atau pemilik dana besar, salah satunya dalam kasus ini adalah Muhammadiyah. Namun BSI menunjuk Felicitas yang dinilai tidak memiliki track record di dunia perbankan, terutama bank syariah, padahal Muhammidyah memiliki anggota, kader yang mumpuni di bidang bank syariah.
“Pemerintah seharusnya tidak melakukan politisasi berlebihan terhadap BUMN. Ini menjadi tanda tanya kenapa orang yang tidak punya catatan di perbankan, khususnya bak syariah, tiba-tiba masuk jadi komisaris,” ujar Yusuf.
“Ke depannya, BUMN harus dikelola makin profesional terutama di jajaran direksi dan komisaris agar sepenuhnya mencerminkan kebutuhan bisnis, kebutuhan upaya perbankan Syariah. Tidak lagi disusupi atau ditumpangi kepentingan politik jangka pendek,” pungkasnya.